Menonton kisah bocah Aborigin yang berlari selama sembilan minggu, melintasi 2700 kilo meter, yang tak ingin dipisahkan dari ibu, sangat menyentuh. Betapa sering bocah dan ibu, yang tak mengerti apa- apa, menjadi korban dari kebijakan akibat gagasan yang salah.
Sejarah sudah berjalan cukup panjang. Atas nama Facisme, misalnya, siapapun yang Yahudi ditumpas. Atas nama Komunisme, mereka yang menentang diktatur proletariat disikat. Negara menggunakan semua kekuasaan menjadi alat gagasan itu.
Atas nama supremasi kulit putih, gerakan KKK bahkan menggantung hidup-hidup kulit hitam. Atas nama Agama, tafsir yang berbeda dihancurkan. Rumah mereka dirusak. Tempat ibadah dibakar. Yang repot, jika pemerintah baik nasional atau pemerintah daerah pasif saja. Itu karena diam diam ada oknum yang menyetujuinya.
Buah paling ranum dari peradaban modern lahirnya prinsip Hak Asasi Manusia. Sejak abad ke 18, paham Hak Asasi terus berevolusi. Manusia, apapun etnik dan keyakinannya, berhak dilindungi secara adil. Diskriminasi menjadi musuh peradaban.
Pemerintah dibuat untuk melindungi hak asasi warga negara. Bukan justru menjadi alat ideologi yang merusaknya. Apa yang harus dilakukan jika di masa silam pemerintah terlanjur diskriminatif?
Pemerintah mengambil inisiatif untuk mengoreksi. Kepada Generasi Yang Hilang, korban keganasan kebijakan publik yang salah, mereka layak dirangkul kembali. Bahkan pemerintah dapat lebih maju lagi meminta maaf secara resmi.
Perdana Menteri Kevin Rudd mengambil leadership itu. Tahun 1967, kebijakan “Half Caste” dicabut. Dibutuhkan waktu 41 tahun kemudian, di tahun 2008 pemerintah Australia melangkah lebih jauh lagi: meminta maaf kepada suku aborigin.
Bagaimana dengan pengalaman di negara kita sendiri? Siapakah Generasi Yang Hilang dalam sejarah kebangsaan kita? Akankah datang permintaan maaf dari pemerintah, sekitar 40 tahun sejak era awal reformasi (1998), di tahun 2038 kelak? Ataukah permintaan maaf itu akan datang lebih cepat?*
Agustus 2019