SCROLL KE ATAS UNTUK BACA BERITA

MENU

Meminta Maaf Kepada Generasi Yang Hilang

Catatan Perjalanan Denny JA

Saya berkunjung ke Australia, Canbera, di tahun 2013. Dalam Museum Nasional Australia (Australia National Museum, ANM), terdapat ruang khusus suku Aborigin.

Soal Generasi Yang Hilang disajikan juga di sana. Ada beberapa studi kasus, “half caste” yang kini hidup sukses. Misalnya, kisah John Moroarty. Ia lahir tahun 1938. Ketika bocah, ia diambil begitu saja dari keluarga Aborigin. Ia dikarantina.

Ia sukses. Tahun 1960, ia terpilih sebagai team sepak bola nasional Australia. Tahun 1970, ia menjadi suku aborigin pertama yang lulus S1, di Adelaide University. Jenjang pendidikan formalnya terus meningkat. Di tahun 2001, ia mendapat medal kehormatan dari Flinders University.

Yang menyentuh dari generasi yang hilang adalah kisah tiga bocah. Kisah ini kemudian diangkat ke layar lebar: Rabbit- Proof Fence (2002). Saya menonton filmnya kemudian.

Di tahun 1931, tiga bocah itu berusia sekitar 8, 10 dan 14 tahun. Mereka anak blasteran (half caste), hidup di kawasan Aborigin, di Jigalong, Australia Barat.

Yang khas dari kawasan itu berdiri pagar kawat yang panjang sekali. Kawat itu menjaga wilayah pertanian dari serbuan kelinci dari seberang yang merusak tanaman.

Molly, yang tertua, bertanya, apa guna pagar kawat itu? Ibu bercerita, ini petunjuk jika dirimu sesat berjalan. Cari saja pagar ini. Kau akan sampai ke rumah, berjumpa ibumu lagi.

Sesuai dengan kebijakan resmi pemerintah Australia, petugas datang mengambil paksa Moly dan dua bocah lain. Moly meronta. Ibunya juga melawan. Namun senjata dan pukulan keras para petugas kekar itu tak terlawan.

Dengan menangis dan menjerit, Moly dan dua bocah lain dibawa pergi dengan mobil. Ibu berlari mengejar mobil itu. Ia hanya bisa meronta melihat ibunya dari mobil. Tapi mobil berlari lebih kencang membawa mereka semakin jauh.

Entah itu di daerah mana? Moly melihat dirinya ada di dalam asrama. Ia berjumpa aneka suster. Diajarkan pula Moly cara berdoa yang tak ia kenal. Suster membujuknya untuk betah di sana.

Ujar suster, makanan kamu, pendidikan dan pekerjaan kamu di sini terjamin. Kamu diajarkan gaya hidup kulit putih, seperti Ayahmu, bukan seperti ibumu.

Di malam hari, bayangan Ibu kandung datang. Moly bertekad melarikan diri. Bersama dua bocah lain, mereka pun menyelinap diam diam di kala subuh.

Film itu kisah pelarian 3 bocah. Tak nanggung, jarak tempuh antara asrama dan tempat ibu kandungnya kini diketahui sepanjang 2400 kilo meter. Itu sama dengan 3 kali jarak antara Jakarta- Surabaya. Mereka harus menempuh jarak sejauh itu.

Tapi tak ada pilihan. Mereka tak tahu seberapa jauh. Mereka hanya ingin berjumpa Ibu. Mereka terus berlari, berjalan, dalam waktu sembilan minggu.

Sejak di asrama, Moly tahu mereka akan diburu. Seorang pemburu budak dipekerjakan untuk melacak. Tiga bocah ini dengan segala ketakutan dan kerinduan pada ibu justru menjadi kekuatan.

Kadang ada yang berbaik hati memberi mereka makanan dan penginapan. Kadang ada pula yang jahat melaporkan keberadan mereka.

Satu patokan Moly. Ibu pernah mengatakan, tempat kita dijaga pagar kawat yang panjang sekali. Jika kau tersesat, cari pagar kawat itu. Kau akan diantar menuju ibu.

Molypun bertanya dan mencari pagar kawat. Setelah ketemu, pagar kawat menjadi penunjuk jalan.

Akhir kata, Moly berhasil berjumpa Ibu kembali. Namun mereka memilih hidup di tempat lain. Petugas dari aneka penjuru mencari mereka. Anak-anak itu sungguh tak mengerti. Apa salah mereka diburu seperti ini.

Situasi berubah ketika akhirnya pemerintah resmi mencabut kebijakan “Half Caste” itu.

Kisah fenomenal Moly dituliskan kembali oleh anaknya menjadi buku. Film dibuat berdasarkan buku itu.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

spot_img

TERPOPULER