JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Tingkat keterpilihan atau elektabilitas Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dari berbagai survei lembaga kredible masih tidak beranjak dari nol koma sekian persen.
Menurut pendiri lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny Januar Ali (Denny JA) rendahnya elektabilitas PSI dikarenakan positioning yang diambil bermasalah.
“Apa yang dilakukan PSI saat ini dan efeknya adalah konsekwensi dari dipilihnya posisi gagasan politik. PSI secara sengaja memilih gagasan isu hak kaum minoritas, anti diskriminasi dan toleransi,” kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya yang diterima SERUJI, Rabu (13/3).
Survei LSI Denny JA, bulan Februari 2019, dukungan untuk PSI tak kunjung beranjak. Sejak survei pada Agustus 2018 hingga survei yang dilakukan Februari 2019, PSI masih menjadi partai Nol Koma.
Berdasarkan pengamatan Denny, gagasan pada hak minoritas, anti diskriminasi dan toleransi ini, dimainkan PSI semakin tegas jelang hari pencoblosan.
“Ini dilakukan mungkin karena memang PSI dilahirkan sebagai partai dengan gagasan itu. Ia partai ideologis. Bisa pula ini bagian dari teknik diferensiasi, strategi marketing, agar pemilih yang peduli pada isu kaum minoritas merasa PSI lebih dari partai lain, dan layak dipilih,” tuturnya.
Namun menurut Denny, positioning pada isu minoritas dan diskriminasi yang diambil PSI akan bermasalah pada dua hal.
“Pertama, PSI memang akan berhadapan dengan sesama partai koalisi yang memiliki gagasan berbeda. Anti perda syariah dan anti poligami, sebagai misal, segera membuat partai koalisi berbasis Islam tak nyaman: PKB, PBB,” jelas Denny.
Sementara, protes terhadap persekusi, dan mempertanyakan mengapa partai nasionalis besar diam saja, sebagaimana pidato Ketua Umum PSI Grace Natalie di Medan beberapa waktu lalu, menurut Denny, akan membuat PDIP dan Golkar tak nyaman.
“Kedua, isu agama minoritas dan toleransi sungguhpun penting tapi ceruk pemilihnya kecil saja. Dari hasil survei, lebih dari 50 persen pemilih minoritas bahkan sudah nyaman di PDIP. Sisanya juga lebih nyaman di Golkar. Pemilih minoritas yang sudah sangat sedikit, tersisa sedikit pula yang berada di luar PDIP dan Golkar. Akibatnya, tak banyak pula yang bisa diambil PSI,” ungkap Denny.
Taktik Yang Dilakukan PSI Salah Dalam Menjalankan Strateginya
Walau positioning bermasalah, menurut Denny hal itu bukan strategi yang salah dari PSI.
“Saya cenderung menyatakan PSI bukan salah strategi tapi salah taktik. Tak ada yang salah dalam pemilihan isu penting seperti isu minoritas dan diskriminasi. Itu isu penting,” jelasnya.
Namun, lanjut Denny, PSI harus melakukannya dengan taktik yang berbeda. “Isu sensitif itu sebaiknya ia mainkan nanti saja jika sudah lolos dalam Parliamentary Threshold 4 persen. Ia mainkan isu itu sebagai bagian dari politik legislatif,” ujarnya.
Dalam politik elektoral pemilu, kata Denny, PSI sebaiknya mengincar ceruk besar, yaitu isu ekonomi, Wong Cilik.
“Isu ini yang seharusnya ia mainkan dulu. Yang penting PSI dapat dulu dukungan untuk menembus Parliamentary Threshold 4 persen. Jauh lebih besar kemungkinan bagi PSI memperoleh 4 persen lewat positioning isu ekonomi, ketimbang isu minoritas dan diskriminasi. Programnya adalah door to door bukan media sosial,” pungkas Denny.
Bodo Amat!