SERUJI.CO.ID – Dua puluh tahun reformasi saat ini bertepatan dengan 110 tahun hari kebangkitan nasional perlu sebuah renungan yang tegas. Apakah kita harus teruskan arah politik yang saat ini sedang berlangsung, ataukah kita memutar haluan?
Cendikiawan Australia Professor Tim Lindsey, dalam tulisannya mengenang 20 tahun reformasi kita, “Post-Reformation of Indonesia: The Age of Uncertainty”, meragukan arah refromasi kita ke depan.
Pertanyaan Lindsey, “will liberal democracy bounce back? Will Indonesia’s resilient oligarchs finally complete their creeping takeover of government? Will Indonesia follow Malaysia, conceding political privilege to Islam and institutionalising intolerance? Or will the country just keep muddling through, as it has for most of this century?”.
Dalam perspektif Lindsey, melalui tolak ukur barat, reformasi yang akan terjadi adalah perubahan besar-besaran Indonesia dari rezim otoriter Suharto menjadi model negara barat, dengan demokrasi yang liberal, sistem perekonomian pasar bebas, adanya kebebasan individual yang maksimum, hilangnya pengaruh agama dalam urusan negara, dan lain sebagainya.
Ketidakpastian menurut Lindsey terjadi manakala demokrasi begitu lemah, korupsi merajalela, kebebasan sipil terancam, populisme meningkat, pengaruh agama membesar, seperti yang, menurutnya, terjadi di Indonesia saat ini.
Tulisan mengenang 20 tahun reformasi di “Indonesia at Melbourne” yang memuat tulisan Lindsey di atas, juga memuat berbagai tulisan yang serupa dari berbagai cendikiawan, yang pada dasarnya sama meragukan kelanjutan reformasi yang ada saat ini.
Namun, sebuah kesamaan dari cendikiawan di situ menampilkan bahwa bangkitnya konservatif Islam, khususnya terkait masalah Ahok dan PKI, sebuah hall yang menakutkan bagi keberlangsungan demokrasi kita.