SERUJI.CO.ID – Adalah Harry A. Poeze, seorang sejarawan Belanda yang menyimpulkan bahwa Sutan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka dibunuh di Jawa Timur di daerah Kediri. Ditembak kemudian dikubur di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri.
Tan Malaka sendiri banyak mengalami kisah hidup yang naik turun. Dia terjebak pada perang Shanghai-Jepang. Dia terjebak pada Perang Dunia dan akhirnya ia balik ke Jawa. Baliknya Tan Malaka ke Jawa ini mirip perjalanan Lenin dari Bern ke Moskow dengan kereta api yang kerap diingat dalam sejarah sebagai ‘perjalanan revolusi’ Tan Malaka. Balik dari Singapura ke Jawa dengan hanya perahu kecil di tengah badai. Taruhannya adalah kematian.
Tan Malaka menghadapi itu demi sebuah pembebasan, pembebasan bangsanya. Tan Malaka sampai di Jakarta tanpa memiliki apa-apa. Namun ia punya kepandaian. Ia pandai menjadi guru. Ia seorang poliglot, bisa banyak bahasa. Ia mengajar bahasa Inggris, Belanda kepada orang-orang yang membutuhkan.
Ia mengontrak rumah separuh kandang kambing di bilangan Rawajati, Kalibata (belakang pabrik sepatu Bata). Dia sering merenung di danau dekat Rawajati (sekarang danau pemakaman Kalibata). Di sana ia merenung tentang hakikat pembebasan. Ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Ia merinci hakikat gerak alam. Ia mengarahkan seluruh situasi pada soal-soal rasional.
Ia menghantam tahayul dan tanpa referensi apapun. Ia sudah mencantumkan segala ingatannya di kepala. Pada dasarnya ia bukan saja seorang jenius, otaknya fotografis. Sempat mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) di tahun 1927, bersama Subakat, Sugono, dan Djamaluddin Tamim.
Suatu malam Tan Malaka dibawa ke Prambanan oleh sekelompok orang. Para pemimpin PKI berteriak pada pertemuan sangat rahasia “Kita memberontak sekarang juga sebagai katalisator, sebagai pemicu pemberontakan besar di Asia Tenggara,” tandas salah satu pemimpin Komunis.
Tapi Tan Malaka justru berdiri “Saya menolak”. Tan Malaka kontan dibenci dan dia dijauhi oleh kelompok Moskow. Namun nama Tan Malaka sudah terlanjur menjadi ikon PKI.
Polisi Belanda punya kesempatan mengacau gerakan dengan main keras dan Tan Malaka menjadi buronan nomor satu agen Polisi Belanda. Agen Polisi Rahasia Hindia Belanda di Bogor mengontak Pemerintahan Inggris di Singapura dan perwakilan Amerika Serikat di untuk memburu Tan Malaka setelah dia berhasil lari dari penjara Belanda. Maka dimulailah episode perburuan paling mencekam sepanjang sejarah Indonesia modern.
Tan Malaka dihadapkan situasi hidup-mati. Temannya Soebakat ditembak mati di Singapura. Ia sendiri dikejar dimana-mana. Di Manila nama Tan Malaka menjadi headline surat kabar. Pemerintahan Manila mendesak agar Tan Malaka dibebaskan dari buruan perwakilan Amerika Serikat di wilayah Manila. Lalu Tan Malaka melarikan diri ke Hongkong. Di sana Tan Malaka berhasil ditangkap.
Media massa Hongkong dan Inggris bersimpati pada Tan Malaka dan mengirimkan surat ke pemerintahan London untuk membebaskannya. Kesal dengan situasi formal yang diserang media akhirnya polisi Belanda dan Inggris ingin menghabisi Tan Malaka diluar jalur hukum. Keputusan inilah yang kemudian menjadi efek terbesar gangguan jiwa Tan Malaka yang terlalu paranoid.
Suatu saat Tan Malaka membaca buku di perpustakaan nasional (sekarang Musium Gadjah). Profesor Purbacaraka berteriak di depan ruang baca,”Apakah ada yang bisa menjadi penerjemah bagi pekerjaan saya”. Tan Malaka menunjukkan tangannya. Ia bekerja menjadi penerjemah dari bahasa Belanda ke Bahasa Inggris untuk pekerjaan Prof Purbacakaraka, ahli bahasa Jawa Kuno pertama di Indonesia.
Bila Bung Karno mencari jalur resmi, maka Tan Malaka memilih jalur perang abadi. Bagi Bung Karno semua hal adalah gertak dan diplomasi. Tapi bagi Tan Malaka semua soal adalah perang betulan. Dan sepanjang masa revolusi ini Tan Malaka serta Soekarno seperti dua matahari kembar yang meledak di banyak tempat.
Revolusi sosial di Solo, penculikan Perdana Menteri Sjahrir, penangkapan Jenderal Dharsono, Perang rambatan, sampai pada konflik Amir-Sjahrir di Madiun dimana Tan Malaka digunakan Hatta untuk menghantam Amir di Solo. Tapi sekali lagi Tan Malaka tetaplah pejuang yang selalu ditinggal sendirian. Ia ditinggal PKI, ia ditinggal Soekarno, ia ditinggal Sjahrir, dan terakhir ia sendirian lalu ditembak mati oleh pasukan Djawa Timur.
EDITOR: Rizky