Datuk Rajo Batuah
Cerita ini adalah kisah hidup seorang pendekar bernama Ki Ngabehi Suro Diwiryo. Ia yang punya nama kecil Mohammad Masdan ini, dikenal memiliki kemauan untuk belajar ilmu silat dan ilmu batin sangat luar biasa. Suratan takdir membawanya ke tanah Sunda, Padang bahkan Aceh, sehingga memberi kesempatan belajar ilmu-ilmu silat peninggalan leluhur di Nusantara. Ilmunya kelak diwariskan ke perkumpulan silat yang bernama Persaudaraan Setia Hati.
Awalnya, Mohammad Masdan tidak diterima masuk dalam sasaran silek milik Datuk Rajo Batuah. Datuk Rajo Batuah tidak sembarangan menerima murid silat. Ketika menerima murid, guru tentu akan disibukkan dengan pengajaran yang menyita waktu. Selain itu, Mohammad Masdan adalah pendatang dari Jawa yang tidak memiliki asal-usul keturunan orang Minang Kabau.
Mohammad Masdan tidak menyerah. Berhari-hari dan berminggu-minggu ia berusaha untuk bertemu dan bertatap muka dengan Datuk Rajo Batuah. Usahanya tidak sia-sia. Datuk Rajo Batuah akhirnya mau menemui Mohammad Masdan.
Di dalam sebuah ruang, Mohammad Masdan di panggil, dan kemudian ditanya oleh sang Datuk.
“Apa hendak engkau bertemu denganku?”tanya sang Datuk.
“Hormat kepada Datuk, aku ingin belajar kepada engkau!” jawab Masdan dengan penuh keyakinan.
Biasanya, Datuk Rajo Batuah segera menolak. Tapi, melihat paras dan kelakuan Mohammad Masdan yang tulus dan jujur serta sangat hormat, Datuk ingin lebih menyelidikinya.
“Apa tujuan engkau belajar silat?” Datuk lanjut bertanya.
“Karena aku mencintainya” jawab Masdan mantap.
“Apa alasan engkau mencintainya” tanya sang Datuk kembali.
“Karena silat adalah hasil usaha manusia, menunjukkan ketekunan dan kepandaian seseorang, yang perlu dihargai dan dilestarikan. Dengan melestarikannya berarti menghargai leluhur dan pendahulu kita.” jawab Mohammad Masdan dengan jujur.
Datuk Rajo Batuah terdiam sebentar. Jawaban dari seorang Mohammad Masdan adalah jawaban yang mungkin ia tunggu-tunggu sejak lama. Banyak pendekar hanya ingin menjadi terkuat, sehingga sering melupakan nama guru-gurunya. Bahkan, banyak yang mengaku menciptakan gerakannya sendiri tanpa guru.
“Sudah belajar apa saja engkau selama ini, dan kepada siapa saja?” tanya Datuk lebih menyelidiki.
Dengan jujur dan terang, Mohammad Masdan menceritakan pengalamannya, aliran silat apa yang ia pelajari, kepada siapa ia belajar. Semua nama yang ia jadikan guru atau ia anggap guru tidak lupa untuk disebutkan. Jawabannya menunjukkan betapa Mohammad Masdan sangat hormat kepada orang yang telah mengajarinya silat.
“Engkau bukan orang Minang, walau aku tahu dari gerak-gerik perilakumu engkau adalah bangsawan” Datuk menyampaikan ungkapan hatinya. “Tidak sembarang orang bisa menerima warisan seluruh ilmuku, hanya diturunkan kepada bangsawan Minang” lanjutnya. “Apa yang bisa jadi alasanku agar aku menerimamu?” jawabnya.
Sejenak Mohammad Masdan terdiam. Keinginan yang kuat untuk terus belajar ilmu silat membuat ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk terus belajar dan belajar. Akhirnya ia berkata :” Aku selamanya adalah murid, dan terus menjadi murid!”
Datuk Rajo Batuah merenung kembali. Mungkin, zaman yang sudah berubah akan melenyapkan ilmu-ilmu silat yang luhur. Ilmu silat yang lahir dari pertempuran-pertempuran dahsyat masa lalu ketika nyawa di ujung tanduk. Pertempuran memang melibatkan kekerasan dan penghancuran, tetapi hal itu adalah wujud bagaimana kebaikan dan kejahatan selalu berlomba dalam kehidupan manusia.
Ilmu-ilmu itu seharusnya tetap lestari, tetapi bukan di tangan orang jahat yang hendak menguasai. Datuk melihat Mohammad Masdan sebagai sosok yang tidak punya keinginan untuk berkuasa, tetapi seorang murid yang mencintai ilmunya.
“Baiklah, engkau aku terima jadi muridku. Tapi ada syaratnya, dan engkau harus memenuhinya” ungkap Datuk Rajo Batuah.
“Baik guru, apapun syaratnya akan aku penuhi!” sahut Masdan dengan riang dan lega.
Syarat yang diberikan Datuk Rajo Batuah tidaklah berat bagi Mohammad Masdan. Salah satu syarat agar ia belajar ilmu bathin atau ilmu hati, sudah menjadi pembawaannya saat ia belajar di pesantren Tebuireng, bahkan tidak lepas pula di Bandung dan Betawi. Jadi, selain belajar silat atau olah tubuh, ia juga belajar ilmu olah batin.
Ketika belajar silat dengan Datuk, Mohammad Masdan selalu kalah walau terus menerus meningkatkan diri. Sepertinya, ilmu Datuk Rajo Batuah itu tidak ada habis-habisnya. Padahal semua gerakan Datuk terus ia ikuti dan pelajari. Berbeda dengan silat-silat aliran lain yang dengan mudah ia atasi ketika sudah tahu jurusnya.
Suatu ketika, Mohammad Masdan yang sangat penasaran bertanya kepada Datuk Rajo Batuah.”Datuk, guruku yang terhormat. Bisakah engkau terangkan mengapa aku tidak pernah bisa seimbang denganmu, apalagi mengalahkanmu?”
“Hmmmm … karena engkau bersilat tidak dengan hati.” jawab Datuk Rajo Batuah. Jawaban ini membuat Mohammad Masdan semakin bingung. Semua gerakan Datuk Rajo Batuah sudah ditirukan dengan benar-benar, tetapi tetap saja tidak bisa mengimbangi.
“Baiklah, tetapi setelah ini, tidak ada lagi yang bisa saya ajarkan. Jika engkau bisa melakukannya, berarti itu puncak ilmu yang bisa saya berikan.” Jawab Datuk Rajo Batuah. Mohammad Masdan bingung, bercampur senang dan sedih. Senang karena akan mendapat ilmu baru, sedih bahwa mungkin waktunya untuk berpisah dengan gurunya. (Bersambung…)
(Catatan : Cerita ini adalah fiksi, namun berdasarkan kisah dari mulut ke mulut dan sumber-sumber di internet. Beberapa nama mungkin sesuai dengan sejarah yang sesungguhnya, mungkin pula tidak)