SERUJI.CO.ID – Di TVRI mission impossible sedang dijalankan oleh Helmy Yahya. Sejak terpilih menjadi Direktur Utama pada 29 November 2017, ia harus membenahi stasiun TV plat merah tersebut yang sedang sakit parah. “Ngapain masuk TVRI” adalah komentar umum atas niat adik Dubes RI untuk New Zealand ini membenahi TVRI. Betapa tidak, sebelumnya beberapa nama besar praktisi pertelevisian yang memilih jalan serupa belum ada yang berhasil.
Kalau dahulu TVRI dikenal dengan program “Dari Desa ke Desa”, saat itu TVRI dikenal karena pemberitaan “Dari Korupsi ke Korupsi”. Bahkan TVRI tiga tahun berturut-turut hattrict mendapatkan opini disclaimer dari BPK yang efektif memelorotkan trust stakeholders. Sementara keunggulan TVRI adalah statusnya sebagai TV publik, harapan besar masyarakat, dan banyaknya aset bernilai di berbagai lokasi strategis; Senayan di Jakarta, Renon di Bali atau studio alam di Depok.
Dari sisi rating, TV yang lahir Tahun 1962 saat Asian Games itu juga selalu berada di urutan paling buncit. Data demografi penonton TVRI juga menunjukkan umur yang semakin tua, seiring dengan program-program siaran yang semakin jadul. Bisa dikatakan, di bidang pertelevisian TVRI adalah korban disrupsi paling parah. Jika di masa lalu TVRI bisa memonopoli media siaran, kini eksis TV-TV swasta dengan keunggulan masing-masing.
Yang harus dikelola Helmy bukan hanya peralatan yang jadul, namun juga anggaran yang sangat minim. Dengan jumlah karyawan terbatas, TVRI masih harus mengelola pemancar yang berlokasi di seluruh Nusantara, bahkan di pelosok negeri yang tidak marketable seperti di Pulau Miangas atau Rote. Media Pemersatu Bangsa ini mengelola siaran 24 jam di 29 stasiun lokal Provinsi, melalui 365 transmitters (baik analog dan digital), yang menjangkau 68 persen penduduk Indonesia.
Delapan belas tahun terikat kebijakan moratorium Kemenpan RB, mereka yang bekerja di TVRI tak jauh-jauh dari kerabat personel sebelumnya, dengan 72 persen berstatus PNS dan sisanya non-PNS. Dari hampir 4,8 ribu karyawan, dua ribuan berumur di atas 50 tahun, dan sisanya antara 26 sampai 50. Tak mengherankan, “SDM kreatif” TVRI sangat terbatas, berbarengan dengan remunerasi mereka yang juga “mini”. Sebagai entitas yang bergerak di bidang industri kreatif, SDM “era kolonial” TVRI menghasilkan ide-ide yang jauh dari “era milenial” saat ini.
Quick Win dan pembenahan TVRI
Helmy awalnya mengaku bingung bagaimana cara mengapungkan kembali “Kapal Titanic TVRI” yang karam. Tak segan ia belajar dari Jonan yang sukses membereskan PT KAI menjadi perusahaan sehat dengan layanan memuaskan. Helmy berupaya menerapkan filosofi “turun ke bawah” Jonan dengan mendidik langsung dan menyerap aspirasi para kru; karyawan dan anchor/presenter. Tak jaim Helmy makan nasi goreng “karet satu” bersama para staf lapangan, mengurusi fasilitas gedung; dari perbaikan kantin sampai toilet.
Menjelang malam tahun baru 2018, TVRI menggebrak dengan siaran langsung dari tiga zona waktu sekaligus; Ambon, Denpasar, dan Jakarta. Helmy melakukan supervisi tingkat tinggi dan menjadi pemutus akhir para artis pengisi acara untuk menjebol dinding pembatas paradigma “kolonial” versus “milenial” TVRI. Akhirnya acara tujuh jam nonstop tersebut menghasilkan peak audience share sebesar tujuh persen. Sampai-sampai para kru menangis bahagia, karena sadar ternyata mereka mampu memproduksi program yang melibatkan ratusan pendukung acara di tengah segala keterbatasan.
Iya tvri niehhh, jadi rame lagihhh..salutt