JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris kecewa dengan berlarut-larutnya pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) di DPR RI, yang sebelumnya ditarget selesai pada 2016.
“Setelah sempat ditargetkan selesai pada Juni 2016, RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) hingga detik ini belum juga menunjukkan indikasi akan disahkan oleh DPR. Bahkan ada informasi yang menyatakan pembahasan RUU yang sudah dibahas lebih dari dua tahun ini akan dihentikan pembahasannya karena tidak kunjung menemui titik temu,” kata Fahira lewat keterangan tertulis yang diterima SERUJI di Jakarta, Kamis (7/12).
Menurut Anggota DPD RI ini, alot dan berlarut-larutnya pembahasan RUU LMB menandakan banyak kepentingan yang terganggu jika minuman beralkohol (minol) diatur setingkat undang-undang sehingga pembahasaan tidak kunjung selesai. Padahal di lapangan pelanggaran terkait minol dan tindakan kriminal yang dipicu minol di berbagai daerah di Indonesia sangat marak terjadi.
“Jujur saya pesimis RUU LMB bisa selesai dibahas terlebih di tahun politik seperti ini. Oleh karena itu, menurut saya, sudah saatnya publik mengangkat persoalan RUU LMB ini ke pentas Pemilu 2019 dengan menarik komitmen parpol dan para capres terhadap larangan minol di Republik ini. Mau sampai kapan persoalan minol yang begitu serius ini kita biarkan saja tanpa ada aturan undang-undangnya. Negeri ini seperti tidak punya skala prioritas,” ujarnya.
Padahal, lanjut Fahira, jika ditinjau dari sisi substansi, RUU LMB ini sudah sangat bagus, ideal, dan menjadi solusi persoalan minol yang begitu kompleks.
“Kata ‘larangan’ pada judul, sebenarnya adalah sebuah semangat dari RUU ini akan bahaya konsumsi minol terutama bagi generasi muda,” tuturnya.
Dijelaskan juga oleh Fahira, dalam RUU ini, minol masih diperbolehkan untuk kepentingan terbatas (kepentingan adat, keagamaan, wisatawan, dan farmasi), sehingga tidak dilarang total.
“Jadi banyak yang salah kaprah. Intinya, minol dalam RUU ini diatur untuk kepentingan terbatas dan ini sebenarnya menjadi solusi,” paparnya.
Menurut Fahira, salah satu persoalan utama maraknya pelanggaran minol saat ini adalah ringannya sanksi hukum yang diterima para pelanggar hukum terkait minol karena belum ada aturan hukum khusus tentang minol yang tegas dan berlaku nasional. Persoalan lainnya adalah, walau sudah merdeka 73 tahun, bangsa ini belum mempunyai program nasional sosialisasi bahaya minol dan program rehabilitasi pecandu minol. Kondisi ini mengakibatkan tingkat konsumsi minol semakin tinggi.
“Semua persoalan ini (sanksi hukum dan kewajiban pemerintah melaksanakan sosialisasi bahaya minol dan memfasilitasi rehabilitasi pecandu minol) dijawab tuntas oleh RUU LMB ini. Keduanya menjadi kewajiban pemerintah. Jadi isi dan substansinya sangat bagus. Makanya kita heran kenapa tidak juga selesai dibahas,” pungkas Fahira. (ARif R)