“Kondisi psikologis jutaan masyarakat bisa terganggu kemudian hanya dikorbankan untuk kepentingan pariwisata yang dalam tanda kutip itu kepentingan asing malah,” tambahnya. Hidayat memandang bahwa penetapan bencana nasional tidak akan mempengaruhi sektor pariwisata di Lombok.
Menurut dia, dunia internasional akan semakin mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengatasi situasi pasca-gempa dengan adanya penetapan bencana nasional. “Mereka melihat Indonesia betul-betul aman, damai, hidup rukun sehingga terjadilah sebuah empati yang begitu luar biasa.
Mungkin mereka malah semakin jatuh cinta dengan Indonesia, sekaligus membawa bantuan untuk warga terdampak gempa di Lombok,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Hidayat pun berharap pemerintah segera menetapkan gempa di Lombok sebagai bencana nasional mengingat masyarakat yang mengungsi mengalami trauma dan kondisi psikologis yang harus ditangani secara cermat oleh pemerintah. “Lebih cepat lebih baguslah. Kita juga enggak tahu jangan-jangan nanti malam ada gempa lagi. Warga di sana mengatakan, jangankan 6,9, skala 4 saja mereka sudah sangat ketakutan, traumanya sudah sangat luar biasa,” kata Hidayat.
Apa perintah Undang-Undang?
Dari pernyataan pejabat publik yang kami kutip diatas, jelas ada dua pendapat yang berseberangan. Politisi dan juga wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, berharap pemerintah harus segera menyatakan bencana alam di Lombok ditingkatkan statusnya menjadi Bencana Nasional dengan berbagai pertimbangan yang dapat kita pahami. Sekretaris Kabinet dan Kepala BNPB cenderung tidak perlu peningkatan status menjadi Bencana Nasional dengan implikasi pariwisata dengan menurunnya wisatawan luar (asing), dan akan memberi dampak ekonomi masyarakat.
Mari kita lihat, apa perintah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang diundangkan tanggal 26 April 2007. Undang-undang ini lahir setelah terjadi bencana alam Tsunami yang dahsyat di Aceh dan Nias tanggal 26 Desember 2004, yang bukan lagi bersekala nasional tetapi sudah tingkat internasional. Indonesia sempoyongan menghadapi musibah dahsyat tersebut. Landasan hukum UU tentang Penanggulangan Bencana belum ada. Hanya mengandalkan Bakornas PB yang kekuatannya hanya pada peraturan pemerintah.
Adanya UU Nomor 24 Tahun 2007, dan segera dibentuknya BNPB sesuai amanat UU, maka sistem perencanaan penanggulangan bencana sudah tersusun dengan baik, dan dukungan APBN dan APBD terbentuk dan tersedia sesuai dengan kebutuihan.
Terkait status Bencana Nasional, juga sudah jelas diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007. Kita kutip saja secara utuh Pasal 7 ayat (1) Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan pembangunan nasional; b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana; c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah; d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan negara lain, badan-badan, atau pihakpihak internasional lain; e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya bencana; f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala nasional.
Ayat (2) Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi: a. jumlah korban; b. kerugian harta benda; c. kerusakan prasarana dan sarana; d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.