Willem menyebut ada tiga pertimbangan utama sebelum BNPB mengusulkan penetapan status bencana nasional ke Presiden.
Pertama, bila pemerintah daerah (pemda) tidak berfungsi pascabencana macam Tsunami Aceh tahun 2004 silam. Kala itu, Pemda Aceh benar-benar lumpuh total menghadapi korban tewas mencapai lebih dari 200 ribu jiwa dan kerugian Rp49 triliun.
Sementara, Willem mencontohkan pegawai Pemerintah Kabupaten Lombok Utara yang masih bekerja meski di bawah tenda.
“Dalam hal ini kita lihat pemda masih berfungsi. Pemkab juga masih menjalankan fungsi kerja pemerintahan,” kata Willem yang juga bertindak selaku Koordinator Penanggulangan Bencana.
Kedua, bila tidak ada akses terhadap sumber daya nasional. Kenyataannya, Willem mengatakan pemerintah telah mengerahkan bantuan melalui kementerian dan lembaga, seperti melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan lain-lain.
Ketiga, bila ada regulasi yang menghambat penyaluran bantuan.
“Kita juga punya regulasi kedaulatan. Contohnya, kita mengeluarkan uang secara cepat dan akuntabel yaitu penggunaan dana cadangan penanggulangan bencana yang berbentuk dana siap pakai,” kata Willem.
Berdasarkan tiga pertimbangan itu, Willem menegaskan saat ini pihaknya belum akan mengusulkan kenaikan status bencana gempa Lombok kepada Presiden.
Yang ketiga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, (KRISTIAN ERDIANTO) JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengkritik alasan pemerintah yang hingga saat ini belum menetapkan gempa bumi di Lombok sebagai bencana nasional.
Hidayat menilai tak pantas jika pemerintah menganggap penetapan bencana nasional akan mengganggu sektor pariwisata di Lombok. “Sangat tidak pantas dong, masa hanya untuk kepentingan pariwisata kemudian ribuan korban terluka, ratusan korban yang meninggal kemudian puluhan ribu rumah yang rusak,” kata Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/8/2018).