Dalam banyak sumber keagamaan islam (Qur’an dan Hadits), Nabi sangat pro-pasar dengan menekankan nilai etika keagamaan tentang perniagaan, seperti larangan menimbun barang, menjual barang sesui dengan timbangan, ataupun larangan menyembunyikan kecacatan barang dagangan serta menekankan persaingan yang adil di pasar (Nasution, et.al., 2012).
Pada saat melakukan hijrah ke Madinah, yang dibangun pertama kali oleh umat islam selain masjid adalah pasar. Peradaban Islam di era berikutnya juga memastikan terjadinya aktifitas perekonomian, dimana di setiap kota kecil dibangun pasar sentral lengkap dengan khan-khan (kios-kios/gudang-gudang), disamping hammam dan masjid (Purnama, 2011).
Penjelajah Arab seperti Ibnu Khaldun mengkonfirmasi kenyataan ini dan menuliskan dalam bukunya yang terkenal berjudul Al-muqadimah. Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan traveler menjelajahi negeri-negeri muslim, untuk mempelajari sistem pemerintahan, perekonomiannya dan menganalisa maju-mundur peradaban mereka.
Eleanor Sims (dalam Purnama, 2011) mengatakan bahwa pasar di kota-kota Islam biasanya berada di pusat kota, terletak di persimpangan jalan sehingga bisa dijangkau dari keempat penjuru. Pasar di Timur Tengah biasanya berupa jalan yang tertutup, dengan gedung besar serta gudang-gudang yang disebut suq (Arab), chara suq (Persia) atau carsi (Turki).
Bangunan-bangunan pasar yang menjadi simbol kemakmuran berbagai wilayah Islam tersebut juga diperlengkapi dengan penginapan untuk para pedagang dari wilayah lain, yang menunjukkan globalisasi dan perdagangan yang dinamis yang terjalin di dunia Islam.
Heilbroner dalam Karim 2007 (hal-16) menjelaskan kemajuan Arab abad pertengahan dalam berdagang. Ketika orang-orang di Eropa masih melakukan barter untuk pertukaran produksi pertanian feodal mereka, muslim telah mengalami kemajuan dalam perdagangan internasionalnya sambil menyebarkan agamanya.
