SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Upaya kriminalisasi terhadap bakal calon gubernur (bacagub) dan bakal calon wakil gubernur (bacawagub) Jatim yang akan meramaikan Pilgub Jatim 2018 mulai dilakukan.
Terbaru, upaya kriminalisasi itu menimpa Abdullah Azwar Anas bacawagub pendamping Saifullah Yusuf dan Emil Elistianto Dardak kandidat kuat bacawagub pendamping Khofifah Indar Parawana.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi mengatakan bahwa ada berbagai cara dilakukan oleh kekuatan politik untuk bisa men-downgrade (melemahkan) suara atau mengurangi dukungan terhadap kandidat tertentu dan menaikkan calon tertentu.
“Saya pikir inilah, pentingnya edukasi dan kesadaran politik. Artinya, ketika ada persoalan hukum harus berpihak pada fakta sosial dan fakta hukum yang harus muncul sebagai bukti. Sebab seringkali kriminalisasi muncul sebagai cara untuk melemahkan dukungan politik melalui media,” kata Angga, sapaan akrabnya, saat menggelar Seminar “Menuju Pilgub Jatim Damai, Berkualitas dan Berintegritas” di Surabaya, Kamis (16/11).
Kata Angga, banyak isu yang bisa dimainkan ketika kekuatan parpol memiliki kelemahan dalam konteks program atau idelogi politik yang bisa ditawarkan pada publik. Namun ketika tak ada yang bisa ditawarkan ke masyarakat maka mereka menggunakan dengan cara lain, termasuk di dalamnya dengan cara kriminalisasi.
“Kriminalisasi politik itu jelas ada intervensi pihak tertentu karena itu menjadi skenario politik dan bukan iseng tapi karena sengaja dimainkan,” tegasnya.
Sebaliknya pengamat politik Unair lainnya, Hari Fitrianto, justru kurang sepakat dengan istilah kriminalisasi karena harus dilihat dulu siapa yang melaporkan kandidat bacagub atau bacawagub tersebut. Jika warga negara atau masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam Pilgub untuk memberikan bukti-bukti baru terkait kebersihan daripada calon maka itu baik-baik saja.
“Toh itu tidak otomatis yang terlapor ditetapkan sebagai tersangka karena proses hukum memiliki tahapan yang jelas, apakah akan naik ke penyidikan dan persidangan dan seterusnya. Saya kira ini bisa menjadi pembelajaran politik toh dalam tradisi demokrasi pemimpin yang terpilih seharusnya ada mekanisme uji publik,” dalih Hari Fitrianto.
Harusnya, kata Hari ada mekanisme uji publik terhadap gubernur terpilih untuk ditanyakan apakah yang bersangkutan ada yang memiliki sengketa hukum atau cacat.
“Kalau dilakukan dalam proses pencalonan itu sah-sah saja, kalau dilihat dari aktivitas publik,” ungkapnya.
Diakui Hari, menjadi pejabat publik sekarang ini sangat susah karena ukuran perbuatan korupsi itu bukan hanya pada bagaimana uang rakyat itu dicuri, tapi ketika seorang pejabat membuat kebijakan publik yang bisa ditakar menguntungkan orang atau institusi maka pejabat tersebut bisa disebut sedang melakukan aktivitas korupsi. Padahal pejabat itu sama sekali tidak memiliki niat jahat atau mendapatkan keuntungan dari kesalahan itu.
Contohnya, mantan rektor Unair Prof Fasich yang memang tidak mendapatkan keuntungan finansial sama sekali dari sangkaan yang dituduhkan.
“Itulah rumitnya menjadi pejabat negara saat ini sehingga kesalahan administrasi bisa menjadi celah sehingga pejabat kita bisa menjadi terpeleset,” tegas Hari Fitrianto.
Menurut Hari, dampak nyata yang bisa diterima kandidat terhadap upaya kriminalisasi adalah kalau laporan itu dipublikasi menjadi pemberitaan media publik, sehingga bisa menjadi tidak baik.
“Tapi problem ini akan menjadi tidak baik kalau digunakan sebagai strategi untuk mengurangi elektabilitas kandidat tertentu. Karena itu, penegak hukum harus memberikan klarifikasi yang cepat dan tegas terhadap kasus yang dilaporkan,” beber pria berkaca mata ini.
Ia mencontohkan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok secara material merugikan negara dalam kasus RS Sumber Waras tapi KPK menilai tidak ada niat buruk. Sebaliknya, dengan Prof Fasich yang secara material tidak diuntungkan tapi KPK meihat ada niat buruk di dalamnya.
“Masyarakat harus melihat bagaimana aparat penegak hukum bekerja apakah netral atau tidak sehingga tidak bisa mempermasalahkan laporannya, tapi bagaimana penegak hukum menginterpretasikan laporan itu, kalau ikut memihak ya otomatis akan ikut permainan politik,” pungkasnya. (Amal/SU02)