SERUJI.CO.ID – Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum di Tanah Air, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menghadapi jalan berliku nan terjal hingga harus menghadapi perlawanan balik para pelakunya.
Masih segar dalam ingatan publik kasus penyiraman air keras yang menimpa salah seorang penyidik KPK Novel Baswedan yang hingga kini masih samar siapa pelakunya.
Belum lagi beragam teror yang dihadapi penyidik KPK dalam mengungkap suatu kasus mulai dari penggembosan ban kendaraan, kriminalisasi, intimidasi, guna-guna sampai perlawanan melalui jalur formal dan legal.
Semua rangkaian teror tersebut mengindikasikan terjadi perlawanan balik dari para pelaku korupsi kepada aparat penegak hukum.
Salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan pelaku korupsi yang dinilai cukup ampuh adalah gugatan praperadilan ke pengadilan sehingga dapat membatalkan status tersangka hingga menyebabkan bidikan KPK lolos dari jeratan hukum.
Memang praperadilan merupakan mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai saluran legal bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak dasarnya telah dilanggar, akibat tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum melalui lembaga pengawasan horizontal yang dinamakan praperadilan.
Praperadilan bertujuan memberikan perlindungan hak asasi manusia bagi mereka yang terlibat perkara pidana pada tahap penyidikan dan penuntutan, sebagai alat kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum dari upaya penyalahgunaan wewenang.
Dalam hal ini praperadilan bertujuan agar segala tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam pemeriksaan perkara pidana benar-benar sesuai aturan perundangan yang berlaku.