SERUJI.CO.ID – 25 Pebruari 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat kunjungan penting dari Komisi Anti Korupsi Hongkong, Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hongkong. Dipimpin oleh komisionernya Simon Peh, ICAC mengunjungi Jakarta untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman seputar pemberantasan korupsi dengan KPK.
Hubungan persahabatan antara KPK dan ICAC telah terjalin dengan baik selama dua tahun terakhir. Kerjasama kedua lembaga anti rasuah tersebut sebagian besar menyangkut peningkatan kapasitas KPK, terutama dibidang akuntansi forensik, pemulihan aset, dan tehnik investigasi.
Tidaklah mengherankan, KPK mengandeng ICAC, sebagai partner strategis dalam rangka pemberantasan korupsi. Hampir sebagian besar literatur mengenai studi Komisi Anti Korupsi (KAK), menobatkan ICAC sebagai ‘Role Model’ di dunia dan dianggap sukses memberantas korupsi di negaranya.
Pertanyaanya, apa yang menarik dari ICAC? Sehingga berhak menyandang gelar ‘institusi sukses penghalau korupsi’ dari negeri Hongkong.
Sejarah Berdirinya ICAC
Sekitar tahun 1960-1970an, Hongkong mengalami pembangunan yang pesat. Perkembangan ini tidak hanya membawa dampak positif bagi kesejahteraan perekonomian masyarakatnya, namun juga sekaligus berdampak negatif dengan timbulnya perilaku koruptif pegawai pemerintah dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Hal tersebut di picu oleh perilaku masyarakat yang “mencari jalan alternatif” untuk memperoleh barang dan jasa dari pemerintah melalui “pembayaran ekstra” kepada aparat negara.
Sedemikian dahsyatnya korupsi kala itu di Hongkong, sampai-sampai petugas ambulans baru akan datang menjemput pasien apabila telah menerima “tips”. Demikian pula dengan petugas pemadam kebakaran, baru akan melaksanakan tugasnya memadamkan api, apabila telah menerima sejumlah imbalan. Pasien di rumah sakit pun perlu “menyogok petugas” terlebih dahulu demi memperoleh kamar untuk perawatan bahkan untuk segelas air.
Menyuap pegawai dan pejabat pemerintah terlebih dahulu adalah praktek yang sangat lazim pada masa itu. Karena mereka tidak akan memberikan pelayanan kepada masyarakat apabila belum menerima “uang jasa” dari masyarakat. Korupsi serius pun terjadi di lembaga Kepolisian Hongkong, dimana banyak oknum polisi korup yang manjadi backing bandar judi, narkoba, dan praktek prostitusi.
Fenomena ini mengambarkan bagaimana masyarakat menjadi korban perilaku koruptif aparat negara. Sehingga mereka berada di posisi sulit dan tidak memiliki alternatif, selain harus menerima sistem korupsi yang telah terbentuk.
Praktek korupsi telah menjadi masalah sosial yang akut di Hongkong. Akan tetapi, pemerintah Hongkong seolah-olah tidak memiliki daya untuk menanggulanginya. Masyarakat pun bereaksi mendesak pemerintah untuk mencari solusi permasalahan korupsi di Hongkong. Reaksi tersebut diawali sebuah kejadian, Peter Godber, seorang Kepala Polisi berkewarganegaraan asing dengan aset mencapai HK$ 4.3 juta yang diduga berasal dari kegiatan korupsi berhasil melarikan diri. Kejadian tersebut menimbulkan demonstrasi masyarakat untuk memberantas koruspsi dengan menangkap Peter Godber.
Menanggapi kejadian tersebut, Pemerintah Hongkong menugaskan Sir Alastair Blair-Kerr, seorang hakim, untuk memimpin suatu tim guna menyelidiki kasus kaburnya Peter Godber. Akan tetapi, masyarakat masih pesimis kasus tersebut akan terselesaikan, kecuali pemerintah membentuk sebuah lembaga anti korupsi khusus yang terpisah dengan lembaga kepolisian.
Akhirnya, dengan menindak lanjuti laporan Sir Alastair Blair-Kerr, Gubernur Hongkong pada saat itu, Sir Murray MacLehose, melalui pidatonya di depan Dewan Perwakilan menyatakan bahwa inilah momentum yang tepat bagi Hongkong untuk memiliki suatu Komisi Anti Korupsi (KAK) yang independen.
Pada bulan Februari 1974, pemerintah Hongkong resmi mendirikan ICAC dengan tugas awalnya adalah menangkap Peter Gober. Sedangkan tiga agenda utama ICAC adalah pencegahan, penindakan, dan pendidikan anti korupsi. Sejalan berjalannya waktu, ICAC terus berkiprah melawan korupsi di Hongkong dengan mengedepankan komitmen, konsistensi, dan pendekatan yang harmonis antara pencegahan dan penindakan.
Sebagaimana ulasan sebelumnya, ICAC Hongkong telah dianggap sebagai ‘model ideal’ suatu KAK. Ideal dalam arti mempunyai landasan hukum yang kuat, mendapatkan alokasi dana yang besar, jumlah tenaga ahli yang mencukupi, dan yang terpenting dukungan pemerintah yang konsisten selama lebih dari 30 tahun keberadaan ICAC Hongkong (KPK, 2006).
Lesson Learned ICAC Hongkong
Para ahli dan ilmuwan sepakat bahwa pada dasarnya, tidak ada Obat yang dianggap paling patent dan manjur untuk mengobati penyakit korupsi di suatu negara. Karena korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan memiliki banyak faktor yang menyelimuti di sekelilingnya. Permasalahan korupsi antara negara yang satu dan negara yang lain tentu berbeda, meskipun bisa ditarik benang merah antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga dengan kata lain “No One Style Fits All” untuk penanganan masalah korupsi. KAK juga bukan merupakan suatu “panacea”, meskipun KAK banyak dibentuk dan diterapkan di hampir semua negara yang mengalami permasalahan korupsi, seperti Indonesia.
Terlepas, bahwa KAK adalah bukan satu-satunya solusi permasalahan pemberantasan korupsi. Akan tetapi, ada baiknya kita menarik suatu pelajaran penting dari sekian puluh tahun perjalanan ICAC mengawal dan membentengi Hongkong dari permasalahan korupsi.
Beberapa catatan penting yang dapat kita ambil dari pengalaman ICAC Hongkong antara lain:
- Besarnya kemauan dan dukungan politik dari pemerintah, yang ditandai dengan landasan hukum yang kuat dan sumber daya yang mumpuni;
- Jaminan independensi;
- Pimpinan Komisi memiliki kewenangan dan otonomi yang besar mengelola sumber daya organisasi;
- Fungsi publikasi yang baik, khususnya dalam rangka mempublikasikan proses penuntutan perkara korupsi;
- Hukum yang menekankan aparat penyelenggara negara untuk mengumumkan asetnya beserta sumber penghasilannya dijalankan dengan sebaik-baiknya;
- Pendekatan sinergi yang baik dengan cara tiga strategi, yaitu: investigasi, pencegahan, dan fungsi pendidikan masyarakat;
- Kuatnya dukungan publik, dan;
- Law Enforcement serta kepastian hukum yang memadai (KPK, 2006).
Potret Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Mencermati beberapa point tersebut, kiranya perjalanan program pemberantasan korupsi di Indonesia, terutama dengan keberadaan KPK selama ini setidaknya telah menapaki jalan yang benar. Hanya perlu beberapa catatan yang penting kita garis bawahi dengan berkaca pada pengalaman ICAC Hongkong tersebut.
Pertama, Indonesia masih terus mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam keinginan memberantas korupsi. Terutama berkenaan dengan keinginan kekuatan politik yang ada saat ini untuk sama-sama mendukung dan berjalan beriringan tangan dengan lembaga-lembaga yang ada saat ini dalam rangka membasmi permasalahan korupsi di tanah air.
Meskipun asa itu ada, terlihat dari pernyataan komitmen-komitmen politik pemerintah, khususnya dalam pentas demokrasi besar yang akan berlangsung tidak lama lagi. Setiap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden berjanji dan berkomitmen untuk terus memerangi korupsi termasuk ikut mendukung dan memperkuat kelembagaan KPK.
Kedua, hal tidak kalah penting yang mesti kita cermati adalah mengenai kepastian hukum di Indonesia. Masih banyak keluhan dari masyarakat mengenai hukum di Indonesia yang di rasa “masih lemah” dalam menghukum para koruptor dengan seberat-beratnya untuk menimbulkan efek jera bagi siapa saja yang akan berniat melakukan tindakan korupsi. Sehingga hal ini juga dianggap menjadi salah satu penyebab mengapa permasalahan korupsi masih sulit diberantas dari bumi nusantara.
Tidak lekang dari ingatan kita polemik mengenai para napi mantan koruptor yang kembali ke panggung politik dan sekaligus memiliki hak politik untuk di calonkan sebagai kepala daerah dan wakil rakyat. Sungguh ini merupakan paradoks bagi usaha pemberantasan korupsi yang tengah kita kawal bersama.
Ketiga, masalah jaminan keamanan dan independensi KPK. Tentu kita tidak akan lupa, bagaimana serangan yang bertubi-tubi terhadap KPK baik secara kelembagaan maupun personil pegawai KPK. Sebut saja kasus Novel Baswedan, yang sampai dengan hari ini masih belum menemukan titik terang. Serta drama Cicak Versus Buaya yang melanda institusi KPK.
Hal ini tentu merupakan fenomena yang harus kita sadari betapa beratnya perjuangan melakukan perlawanan terhadap korupsi di Indonesia. Tentu tidak ada kata menyerah dalam kamus pemberantasan korupsi. Kita tentu masih tetap menyimpan asa bahwa suatu hari nanti Indonesia pun akan bisa seperti Hongkong yang telah bebas dari belenggu korupsi. Semoga.
Sumber: Disarikan dari Kajian Direktorat Litbang KPK mengenai Komisi Anti Korupsi di Luar Negeri (2006)