SERUJI.CO.ID – Pasangan cawapres Prabowo Subianto, Sandiaga Salahuddin Uno, mencatat perhatian publik terbesar belakangan ini. Hanya dalam waktu sekejab, sosok dirinya yang tidak diunggulkan sebagai cawapres, muncul begitu mendadak. Banyak berharap pada dirinya, karena dari capres/cawapres yang ada, hanya dia yang dipersepsikan publik sebagai pelaku ekonomi yang sukses, sehingga diharapkan mampu memberi jalan keluar pada ekonomi Indonesia dalam tantangan kriris ekonomi saat ini.
Merumuskan Sandinomic tentunya sangat prematur. Karena pikiran2 Sandi dalam dunia politik pembangunan baru terjadi beberapa tahun sejak dirinya menjadi insan politik dan menjalankan pemerintahan selama hampir setahun di DKI Jakarta.
Namun, meniadakan pikiran dan aksi serta pilahan kebijakan dari Sandi dibidang pembangunan, tentu tidak benar sama sekali. Setidaknya, jejak Sandi selama hampir dua puluh tahun berkecimpung sebagai pelaku bisnis dan pelaku pemerintahan dan petinggi partai, dapat diambil hal hal strategis yang dianut oleh Sandi dalam pembangunan ekonomi,sehingga ini dapat menjadi petunjuk awal ekonomi ke depan, jika pasangan Prabowo-Sandi menang pilpres.
Beberapa hal berikut merupakan jejak pikiran dan tindakan yang dianut Sandi:
1. Stabilitas Makro Ekonomi:
Dalam diskusi “Putinomics dan Relevansinya di Indonesia, yang diselenggarakan Sabang Merauke Institute, Rabu 8/8/18 lalu di Jakarta Smart City, Sandi menyukai cara Putinomics mengendalikan inflasi, mengendalikan harga bahan pangan murah dan “full-employment” strategi berbasis ” wage flexibility”.
Untuk pengendalian harga murah, Sandi juga membuktikan intervensinya ketika harga telur naik sekitar 50% beberapa waktu lalu. Sandi langsung melakukan kontrak bisnis pengadaan telur dan ayam pada pabrikan sehingga supply telur dan ayam ke Jakarta langsung memenuhi demand dan harga kembali normal rp. 20.000 perkg.
Pada kasus buruh, ketika demo buruh menuntut kenaikan upah UMP/UMR hanya berselang beberapa bulan Sandi menjadi Wagub, Sandi tetap berpegang bahwa upah buruh harus pada nilai yang memungkinkan pabrik2 tetap berproduksi. Kemarahan buruh terhadap Sandi dimitigasi dengan strategi “welfare policy”, yang bebannya tidak ditanggung dunia usaha, melainkan negara, dalam hal itu anggaran APBD DKI.
Buruh kemudian berdamai dengan Sandi pada struktur upah yang terhubungkan dengan inflasi serta kompensasi kesejahteraan melalui non upah.