MENU

NKRI Bersyariah dan Ruang Publik Inkusif

dalam Pusaran Kekuasaan Indonesia Pasca-Otoritarianisme
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman Ph. D, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga CEO The Initiative Institute.
Serial Tulisan Merespon Esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?

SERUJI.CO.ID – Artikel Denny JA tentang kontestasi antara NKRI bersyariah ataukah ruang publik yang manusiawi menarik untuk didiskusikan dalam ruang publik intelektual yang menjunjung tinggi akal sehat. Apalagi Denny mengelaborasinya dengan uraian apabila nilai-nilai substansial Syariah diturunkan menjadi parameter kuantitatif seperti dilakukan oleh Shelina Zahra Janmohamed dalam tulisannya berjudul “Islamicity’ ranking ignores the realities” dalam The National 13 Juni 2014. Terlihat bahwa negeri-negeri dengan mayoritas penduduk Islam ternyata berada dibawah standar islami dibandingkan dengan negara Eropa.

Bagaimana kita memahami hal ini dalam konteks benturan politik identitas dan dinamika politik Indonesia masa kini?

​Saya akan membahas tema ini melalui fenomena aktual yakni gerakan 212, maupun dalam momen-momen politik reuni yang mengikutinya adalah seruan NKRI bersyariah.

Di Arab Saudi saat memberikan pidato bagi peserta reuni 212 pada tanggal 2 Desember 2017, Rizieq Shihab menyerukan, ”NKRI bersyariah adalah NKRI yang beragama, bukan atheis, komunis atau tanpa agama. NKRI bersyariah adalah NKRI yang berketuhanan Yang Maha Esa, NKRI bersyariah NKRI menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sujud dan patuh pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

NKRI bersyariah adalah NKRI yang mencintai ulama, bukan mengkriminalisasi atau menterorisasi mereka, NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri. NKRI bersyariah menjauhi dari ekonomi riba, NKRI bersyariah anti-korupsi, anti-judi dan narkoba, anti-pornografi, anti-prostitusi, anti-LGBT, anti-fitnah, anti-kebohongan, anti-kezaliman” (Detik.com 2 Desember 2017).

​Bagaimana posisi kita terhadap isu NKRI Bersyariah yang terus bergulir dikalangan kelompok populisme Islam semenjak Pilgub DKI tahun 2016 sampai dengan dinamika politik menjelang Pemilihan Presiden 2019 mendatang?

Saya sendiri berpendapat bahwa dasar negara Republik Indonesia Pancasila sudah sangat memadai sebagai kesepakatan bersama menuju tatanan bernegara yang demokratik sekaligus mewadahi religiusitas inklusif dari segenap warga negara Indonesia termasuk didalamnya mayoritas ummat Islam.

Apakah persoalan selesai dengan menguraikan sisi idealitas dari Pancasia sebagai filsafat bernegara berhadapan dengan isu NKRI Bersyariah? Sepertinya, tidak. Ada tugas intelektual lain yang perlu dielaborasi terkait dengan hal tersebut.

Mengapa isu NKRI Bersyariah sebagai sebuah artikulasi dari kelompok populisme Islam tampil dan semakin teresonansi di ruang publik kita di sebuah negara yang memiliki dasar negara yang tidak berlandaskan pada sekularisme tapi berdasarkan pada prinsip agama publik (public religion)? Jawaban terhadap persoalan ini membutuhkan wawasan imajinasi sosiologis yang lebih mendalam untuk dapat menunjukkan peta sosial dan akar persoalannya.

Tulisan ini memiliki maksud dua hal, yakni: Pertama, pada aras idealita menjelaskan tentang Pancasila sebagai landasan negara yang memberikan ruang yang cukup luas terhadap agama untuk berkiprah di ruang publik dan konvergensi antara tujuan dari Syariah Islam (maqasid syariah) dengan prinsip keadaban publik dari negara demokratik.

Kedua, pada aras sosial tulisan ini berusaha menguraikan peta sosiologis dari munculnya isu NKRI Bersyariah dalam politik Indonesia pasca-otoritarianisme.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER