MENU

NKRI Bersyariah dan Ruang Publik Inkusif

dalam Pusaran Kekuasaan Indonesia Pasca-Otoritarianisme
Oleh: Airlangga Pribadi Kusman Ph. D, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga CEO The Initiative Institute.
Serial Tulisan Merespon Esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik Yang Manusiawi?

Pancasila yang Mewadahi Agama Publik

Berbeda dengan kalangan yang skeptis terhadap Pancasila yang mengangggap dasar negara ini membawa Indonesia ke negara yang bukan-bukan, bukan sekuler dan bukan negara agama; di dalam Pancasila kita menghayati relasi negara dan politik dalam konteks penguatan public religion.

Dalam komitmen atas public religion, cita-cita Pancasila memberikan penghormatan timbal balik antara posisi agama dan negara. Institusi dan aktivitas keagamaan dijamin untuk berkembang dan dihormati kebebasannya untuk mengaktualisasikan dirinya.

Berbeda dengan prinsip sekularisme yang menempatkan agama dalam ruang privat, konsepsi public religion Pancasila menghormati dan memberikan ruang yang luas terhadap agama untuk mempengaruhi dan menjadi spirit dalam kehidupan sosial maupun politik bernegara.

Pada sisi lain, idealitas Pancasila juga memberikan penghormatan terhadap institusi negara untuk mengelola kehidupan sosial dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan tanpa dikendalikan dan didominasi oleh agama tertentu.

Dalam bahasa Muhammad Hatta (1945) bahwa “kita tidak akan mendirikan negara dengan dasar perpisahan antara agama dan negara, melainkan kita akan mendirikan negara modern diatas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh negara, maka agama menjadi perkakas negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni”.

Bersamaan waktu dengan uraian Hatta diatas, Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, Lahirnja Pancasila, menegaskan tentang ruang yang besar kepada agama untuk hidup dan menginspirasi ruang sosial dan politik dengan memberikan peluang kepada golongan Islam untuk mengorganisasikan diri secara politik dan mempengaruhi keputusan politik di lembaga perwakilan (Latif 2011, 74).

Dwi tunggal Soekarno-Hatta menjelaskan bahwa cita-cita Republik Indonesia dan Pancasila memberikan ruang terbuka bagi proses negosiasi antara politik bernegara yang menekankan pada imparsialitas untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dengan religiosiasi ruang publik Indonesia untuk membangun kesalehan sosial dan publik.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER