NKRI Bersyariah sebagai Problem Sosiologis
​Dalam pembahasan tentang NKRI Syariah dan ruang publik yang inklusif, tulisan ini menolak pembahasan berbasis perbincangan kultural (culture talk) yang memilah kalangan pendukung ruang publik yang inklusif sebagai kaum Muslim yang baik (good muslim) dan pendukung NKRI Syariah sebagai kaum Muslim yang buruk (bad muslim). Pembahasan tentang NKRI bersyariah versus ruang publik inklusif dalam konteks benturan antara Muslim yang baik versus yang buruk atau problem didalam dunia Islam cenderung mengisolasi persoalan sosial ini sebagai masalah kultural di internal Islam.
Akibatnya dalam pantauan rumah kaca yang dikendalikan oleh arus utama kekuatan dominan, perspektif ini ingin menunjukkan bahwa Ummat Islam adalah kalangan yang tidak dapat menerima demokrasi sampai mereka dapat membuktikan bahwa mereka memiliki karakter demokratis.
Dalam sudut pandang ini Muslim yang baik (good muslim) adalah kalangan yang harus dibantu dan dituntun dalam hubungan patronase sosial untuk menjadi modern dan mendukung kaum yang baik tadi untuk menghantam Muslim yang buruk (bad muslim).
Mahmood Mamdani (2004) dalam Good Muslim, Bad Muslim: America, The Cold War and The Roots of Terror menunjukkan bahwa cara pandang kultural seperti ini mengabaikan konteks makro sosial dari persoalan yang ada terkait dengan konteks historis, relasi kekuasaan dan kepentingan yang tidak bisa dilepaskan dari dinamika agensi Islam Politik yang ada didalamnya.
Seperti diuraikan mendiang Fred Halliday (2003) Professor Hubungan Internasional dalam kajian wilayah Timur Tengah dari London School of Economics and Politicak Science dalam karyanya Islam & The Myth of Confrontation bahwa untuk menjelaskan segenap aktivitas sosial di masyarakat Muslim, maka faktor-faktor diluar pengalaman keberagamaan harus dipertimbangkan.
Hal ini termasuk pola-pola dominasi dan hubungan sosial antara negara dan kekuatan politik Islam, relasi pertarungan sosial dan hubungan kelas yang ada didalamnya maupun kekuatan eksternal dan formasi sejarah dari setiap masyarakat yang diamati.
Menyimak kembali orasi dari Rizieq Syihab dalam awal tulisan ini terdapat beberapa kata kunci yang ia lontarkan seperti NKRI bersyariah adalah NKRI yang Berketuhanan Yang Maha Esa, NKRI bersyariah adalah NKRI yang mencintai ulama bukan yang mengkriminalisasi dan menteror mereka, NKRI bersyariah adalah NKRI yang menjadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri.
Orasi Rizieq Syihab memperlihatkan bahwa aspirasi kekuatan politik Islam yang direpresentasikannya tidaklah lahir dalam ruang hampa. Tulisan ini memaknai politik Islam adalah sebuah response sosial-politik atas persoalan ketimpangan relasi kekuasaan dan pertahanan kemakmuran dalam konteks kehidupan bernegara melalui ideal, imajinasi, symbol, bahasa dan terminology politik Islam (Hadiz 2011).
Seperti diutarakan oleh Nader Hashemi (2013) bahwa pengalaman masyarakat Islam berinteraksi dengan modernitas dan sekularisasi dalam kehidupan bernegara sebagian besar tidaklah berlangsung baik bahkan ditandai oleh relasi yang penuh ketegangan dan kontradiktif. Berbeda dengan transformasi sosial yang berlangsung di Eropa yang memperlihatkan terminologi sekularisme, demokrasi dan hak asasi manusia yang merupakan elemen-elemen dari proyek modernitas sebagai cita-cita perjuangan kekuatan sosial dari bawah untuk membangun tatanan politik yang bersifat inklusif.
Pada konteks masyarakat Muslim pengalaman modernisasi dan sekularisme merupakan proyeksi politik dari atas yang berlangsung semenjak epos negara kolonial sampai era pasca-kolonial. Dalam perjalanan sejarahnya proyek modernisasi dan sekularisme dari atas tadi lebih banyak mengisahkan penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, opresi politik dan subordinasi sosial dibandingkan dengan realisasi jalan menuju keadilan sosial, kesejahteraan dan kebebasan politik.
Dalam konteks Indonesia, meskipun para pendiri republik telah melahirkan sebuah landasan dan filosofi bernegara yang terbuka dan berbasis pada keadaban publik, namun praktik bernegara yang berlangsung tidak bebas dari problem-problem sosial yang terjadi di masyarakat Muslim lainnya.
Dalam konteks politik di Indonesia tendensi politik populisme kekuatan Islam politik adalah hasil dari interaksi kompleks yang terbentuk dalam hubungan antara negara dan Islam dalam perjalanan panjang tatanan kapitalisme semenjak era negara kolonial sampai era negara kapitalisme oligarki predatoris pada era pasca otoritarian.
Dalam konteks Indonesia pasca-otoritarianisme, radikalisme politik Islam yang tampil bukanlah semata-mata imbas dari kondisi chaotic yang berlangsung setelah Indonesia memasuki era demokrasi. Radikalisme kekuatan politik Islam saat ini merupakan refleksi dari berbagai macam faktor yang didalamnya termasuk warisan historis politik Islam (dengan penopang kekuatan sosial dari kelas borjuis kecil pedagang) yang semenjak era negara kolonial hadir sebagai reaksi atas corak ekonomi-politik kekuasaan warisan kolonial yang ditandai oleh dominasi ruang ekonomi sector privat oleh borjuasi besar Tionghoa dan penindasan kolonialisme terhadap kekuatan Islam politik; kekuatan Islam politik sebagai kekuatan yang menyediakan basis ideologi dan sosial bagi perlawanan sosial dan mimpi keadilan sosial ditengah absennya kekuatan politik kiri maupun basis politik liberal di era Soeharto dan sesudahnya.
Konstestasi politik sebagai warisan historis antara kaum inteligensia modern sekuler yang menguasai negara paska-kolonial berhadapan dengan kaum intelegensia berpendidikan Islam; maupun manifestasi amuk dari alienasi sosial dan keresahan sosial yang membentuk aliansi sosial populisme dikalangan kaum miskin kota, kelas menengah rentan (precariat middle class) dan kaum terdidik perkotaan yang mengalami disilusi dan teringkari oleh janji kemakmuran mulai jenjang pendidikan yang ditawarkan oleh proses modernisasi (Hadiz 2011).
Segenap kompleksitas problem sosiologis dan ekonomi-politik ini menghadirkan tampilnya ummat yang seperti diutarakan oleh WF Wertheim sebagai problem majority with minority mentality.
​Meskipun hadir sebagai kekuatan sosial alternative yang menyediakan basis kultural, symbol, bahasa dan imajinasi resistensial untuk pemenuhan keadilan sosial ditengah pertarungan kekuasaan di era Indonesia post-otoritarianisme, kekuatan sosial Islam politik tidak serta merta dapat ditempatkan sebagai garda depan politik progresif maupun liberal demokratik dalam peta politik Indonesia kontemporer.
Berbagai persoalan yang muncul dalam dirinya mulai dari melemahnya basis sosial borjuasi pedagang kecil sebagai kekuatan penopangnya, aliansi sosial-politik yang terbangun antara kekuatan sosial Islam dengan faksi-faksi oligarki dan kelompok militer yang berlangsung semenjak era akhir Orde Baru yang tetap terawat sampai saat ini, kegagalan mempengaruhi arus utama ruang politik pasca-otoritarianisme, sampai dengan kegagalan penetrasi ideologi civil Islam ke basis-basis sosial akar rumput politik Islam menjadi penghalang bagi evolusi kekuatan politik Islam untuk bermetamorfosis menjadi kekuatan politik berkarakter demokrasi yang berkeadaban.
​Memahami kartografi sosial dan posisi kekuatan populisme Islam dalam wawasan sociological imagination, tidak berarti memberikan legitimasi pembenaran terhadap seluruh ekspresi dan tindakan politik yang dilakukannya. Dalam penjelasan sekilas tentang totalitas sosial problem ekonomi-politik Indonesia dari sudut pandang kekuatan Islam politik diatas, persoalan yang dihadapi sekarang untuk merealisasikan ruang publik yang inklusif dan manusiawi adalah absennya kekuatan sosial demokratik yang solid ditengah corak kekuasaan Indonesia yang berkarakter kapitalis oligarki predatoris.
​Sebelum mengakhiri tulisan ini, sepertinya ada satu hal yang perlu untuk dijawab yakni berkenaan dengan mengapa dalam parameter substansi Syariah yang lebih inklusif negeri-negeri Muslim jauh tertinggal dari negeri-negeri Barat seperti yang telah diuraikan oleh Denny JA dalam artikelnya.
Kembali jawabannya bukanlah semata-mata pada corak keberagamaan, sepertinya lebih tepat kalau kita mengkalkulasikan dimensi politik beserta kompleksitasnya. Daren Acemoglu dan James A Robinson (2012) dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty menjelaskan dalam penelitian besar tentang asal-usul kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan mereka menemukan bahwa keberhasilan negeri-negeri di Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk keluar dari jebakan kemiskinan berlangsung setelah kemenangan mayoritas warga untuk menjatuhkan dan membendung konsentrasi kekuasaan disekitar segelintir elite politik dan orang kaya saja.
Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang pertarungan sosial di negeri-negeri tersebut berhasil menciptakan masyarakat berkeadilan, hak-hak warga yang terjamin oleh negara yang hadir, pemerintahan yang akuntabel dan diatas pilar-pilar itu semua tatanan ekonomi inklusif bekerja untuk memberikan kesempatan sosial bagi warga negara untuk berjuang lebih sejahtera.
​Lintasan sejarah yang menghadirkan kemenangan demokrasi atas tirani politik serta ekonomi terbuka diatas ekonomi ekstraktif inilah yang belum selesai dan masih harus dipertarungkan oleh mayoritas negeri-negeri Muslim yang juga dihadapi oleh negeri-negeri lain di Afrika, Amerika Latin, Eropa Timur dan lainnya.
Problem dunia Islam dan salah satunya adalah Indonesia tidak terbatas pada problem fanatisisme agama. Fanatisisme agama sendiri hanyalah satu hal dari persoalan besar yang belum selesai yakni masih belum inklusif dan demokratiknya corak kekuasaan kita ditengah dua puluh tahun perkembangan institusi demokrasi di negeri ini.
Tugas politik yang perlu diselesaikan adalah menghadirkan kekuatan politik progresif dengan perangkat ideologi programatik yang terbuka, demokratik dan menghargai kebhinekaan Indonesia.
*Airlangga Pribadi Kusman, meraih gelar Ph.D dari Asia Research Centre Murdoch University, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga, CEO The Initiative Institute, baru saja menerbitkan buku berjudul The Vortex of Power: Intellectuals and Politics in Indonesia’s Post-Authoritarianism Era diterbitkan oleh Palgrave Macmillan 2019.
Daftar Pustaka
- Acemoglu, Daron dan James A Robinson (2012) Why Nations Fail: The Origins of Power, prosperity and Poverty. Crown Business. New York.
- Hadiz, Vedi (2011) Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of The Cold War. Journal of Current Southeast Asian Affair 1/2011: 3-38.
- Halliday, Fred (2003) Islam & The Myth of Confrontation: Religion and Politics in The Middle East. Palgrave Macmillan New York.
- Hashemi, Nader (2013) Islam and Democracy dalam John Esposito dan Emad El-Din Shahin (eds), The Oxford Handbook of Islam and Politics. Oxford University Press UK. ​
- Kamali, Mohammad Hashim (2013) Membumikan Syariah: Pergulatan Mengaktualkan Islam. Mizan Bandung.
- Keane, John (2009) The Life and Death of Democracy. WW Norton and Company NY.
- Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Gramedia Jakarta.
- Mamdani, Mahmood (2004) Good Muslim, Bad Muslim: America, The Cold War and The Roots of Terror. Pantheon Books. New York.
- Salvatore, Armando (2007) The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism, Islam. Palgrave Macmillan New York.