Tuduhan Makar Bentuk Kejahatan Negara

0
1345

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang merdeka dan berdaulat, dengan hukum sebagai pengatur dan pelindung masyarakatnya. Indonesia memiliki usia yang cukup dewasa bagi sebuah Negara, untuk mengelola pemerintahannya agar dapat mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam pengelolaan pemerintahan, Negara menetapkan aturan-aturan serta kebijakan-kebijakan untuk mengatur masyarakat. Kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah/penguasa dapat diartikan sebagai tindakan negara. Adapun kekuasaan negara dibatasi oleh Konstitusi sebagai ketentuan dasar negara yang mengatur kewajiban pokok negara kepada rakyat.

Kondisi Indonesia saat ini dipandang melenceng dari amanat konstitusi. Kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengatur rakyatnya dijadikan alat bagi negara untuk melakukan kejahatan hukum, dengan mengabaikan konstitusi. Hal ini seperti konsep kekuasaan yang disampaikan Thomas Hobbes, yaitu “Penguasa memiliki kekuasaan untuk menilai salah dan benar, memiliki kekuasaan untuk menentukan hukum, melepaskan keterikatan diri dari hukum yang merugikannya. Bahkan, penguasa dapat membuat kebijakan yang dianggap menguntungkan dirinya.”

Bahwa, ketika penguasa/negara membuat kebijakan yang mengabaikan dan/atau bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang sehingga terampasnya hak-hak dasar masyarakat sebagai manusia (basic human right), maka inilah yang dimaksud sebagai Kejahatan Negara. Salah satu contoh nyata dari kejahatan negara yang terjadi saat ini adalah Tuduhan Kejahatan Makar terhadap Sekjen Forum Umat Islam (FUI) K.H. Muhammad Al-Khaththath.

Al-Khaththath ditangkap dan kemudian ditahan Polda Metro Jaya dengan tuduhan makar, sebelum dilaksanakannya aksi damai 313 pada tanggal 31 Maret 2017 yang lalu. Penangkapan ini merupakan bentuk penggunaan kekuasaan yang tidak berkeadilan, dengan tuduhan yang tidak berdasar, dan menggunakan momentum ini untuk membungkam aktivitas masyarakat dalam menyampaikan pendapat yang merupakan hak masyarakat yang dilindungi oleh Undang-undang.
Bahwa, secara yuridis aksi damai 313 merupakan hak negara yang dijamin Konstitusi dan Undang-Undang. Aksi 313 terbukti berjalan dengan damai, menyampaikan aspirasi agar pemerintah patuh dan tegas dalam menjalankan undangs-undang. Tidak ada upaya makar atau menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang dituduhkan.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 107 dinyatakan bahwa, Makar (aanslag) adalah perbuatan yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan (omwenteling). Suatu perbuatan dikatakan Makar, menurut pasal 87 KUHP adalah apabila telah dimulainya perbuatan makar sebagaimana menurut pasal 53 (Percobaan). Makar (Anslag) dilakukan dengan perbuatan kekerasan. Secara yuridis, apabila seseorang melakukan perbuatan persiapan (voorbereidings-hendeling), ia belum dapat dihukum.

Perbuatan Makar sebagaimana dimaksud pasal 107 KUHP dan 110 KUHP adalah ketika sudah mulai melakukan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
Realitanya, tidak ada tindakan/upaya Makar yang dilakukan oleh Al-Khaththath dan tersangka lainnya terhadap pemerintah. Tuduhan makar sangat tidak berdasar dan cenderung didefinisikan sendiri oleh Pihak Kepolisian. Hingga saat ini pihak kepolisian belum dapat membuktikan adanya perbuatan permulaan para tersangka sehingga ditangkap dan ditahan dengan tuduhan Makar.

Bahwa, pihak kepolisian semestinya paham atas ketentuan hukum pidana, dan tidak akan gegabah dalam menilai dan menetapkan upaya hukum terhadap seseorang. Patut diduga adanya invisible power atau tangan-tangan terselubung yang menggerakkan kepolisian. Kepentingan pihak tertentu yang merasa tidak nyaman dengan tuntutan masyarakat atas pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah untuk memberhentikan sementara Basuki Tjahaja Purnama dari Jabatan Gubernur DKI Jakarta yang menjadi terdakwa dalam kasus Penistaan Agama di Pengadilan Negeri jakarta Utara.

Kegiatan unjuk rasa merupakan hak warga negara dalam menyampaikan pendapatnya yang dilindungi oleh Konstitusi dan undang-undang No 8 Tahun 1999. Negara ini telah terbiasa dengan adanya aksi unjuk rasa, demonstrasi, penyampaian aspirasi dan sebagainya. Bahkan, tak jarang pula para demonstran masuk ke gedung DPR untuk bertemu dengan para wakil rakyat. Namun, baru kali ini, pada Aksi-aksi yang menuntut proses hukum yang adil terhadap seorang Basuki Tjahaja Purnama, kegiatan unjuk rasa dipandang sebagai kegiatan yang mencemaskan, para tokoh-tokoh yang ikut serta dalam Aksi, sebelum aksi 212 dan 313 ditangkap dengan tuduhan Makar. Ditambah lagi dilakukannya kriminalisasi terhadap para Ulama, yang dijadikan tersangka dengan tuduhan yang terlalu dipaksakan. Keseluruhannya memperlihatkan adanya kekuasaan yang dapat menggerakkan Instrumen negara tanpa lagi mendasarkan Hukum sebagai Panglima.

Negara dengan menggunakan kekuasaan sebagai alat-nya , jelas telah melakukan Kejahatan Negara. Mengabaikan konstitusi dan undang-undang yang menjamin hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat, mencabut hak kebebasan seseorang dengan melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasari ketentuan hukum yang mengaturnya.

Salah satu pilar berdirinya NKRI adalah menjadikan negara ini negara hukum yang berkeadilan. Menjadikan hukum sebagai panglima bukan kekuasaan sebagai panglima. Hukum ditegakan bukan hanya terhadap kelompok tertentu atau umat dan tokoh Islam saja. Bukan digunakan untuk melemahkan dan mencari-cari kesalahan seseorang.

Hukum haruslah kembali mengendalikan kekuasaan, menjadi dasar bagi penguasa dan warga negara dalam kehidupan. Tanpa hukum yang tegas maka penguasa akan seperti yang disampaikan Niccolo Machiavelli “het doel heiligt de middelen” (tujuan menghalalkan segala cara untuk kepentingan penguasa). Oleh karenanya, pemerintah haruslah bersikap ideal sesuai dengan rule of law, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan.

Oleh Dr. M. Kapitra Ampera, SH., MH, Tim Advokasi GNPF-MUI Pusat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama