Syariah dan Ruang Publik Inklusif
Idealitas dalam tradisi keislaman dalam hubungannya dengan Syariah sendiri dalam sejarah sosialnya cenderung bertemu dengan cita-cita bernegara Pancasila yang telah diuraikan diatas.
Sarjana sosiologi agama dari McGill University Armando Salvatore (2007) dalam karyanya The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism, Islam menjelaskan ada yang terlupakan dalam penjelasan Juergen Habermas tentang ruang publik Eropa sebagai basis tatanan sosial bagi pembentukan negara demokratik dan masyarakat sipil yang memperjuangkan kebebasan. Yakni kontribusi dari tradisi panjang Katholik dan Islam yang tak sepenuhnya terpisah namun terhubung dalam mata rantai jalur genealogi peradaban Eropa-Mediterania yang mempengaruhi konsep-konsep kunci public sphere dan common good yakni istilah bonnum commune dalam tradisi Katholik dan maqasid syariah (tujuan syariah) dan maslahah (kebaikan bersama) dalam tradisi kajian Syariah oleh ulama-ulama Islam khususnya pada era kekuasaan Khalifah Andalusia.
Tentu saja berdasarkan atas konteks sosial yang berbeda, kita tidak dapat melakukan klaim bahwa rumusan teoritik maqasid Syariah dari kalangan sarjana Muslim pra-pencerahan dalam dirinya sudah demokratis dalam ukuran tatanan demokrasi modern.
Namun demikian evolusi sosial formasi ruang publik Eropa yang menjadi basis dari tatanan demokrasi modern tidak terpisah dari tradisi intelektual kajian syariah dalam masyarakat multi-religius yang dirumuskan oleh fuqaha Muslim pada fase historis sebelumnya. Bahkan seperti diutarakan oleh sarjana politik John Keane (2009) dalam karyanya setebal 992 halaman berjudul The Life and Death of Democracy bahwa kita tidak dapat menyatakan demokrasi sebagai warisan eksklusif dari perjalanan sejarah sosial peradaban Eropa semata, demokrasi adalah anak semua bangsa, yang mana salah satu diantaranya peradaban Islam dengan konsepsinya tentang syura memberikan sumbangan penting sebagai konsepsi proto-politik dari sejarah panjang institusi politik demokrasi sampai terumuskan dalam proses pelembagaannya sampai saat ini.
Sehingga alih-alih pembentukan tatanan demokrasi dan ruang publik modern dalam peradaban Eropa merupakan pengalaman kolektif yang memisahkan diri dari mata rantai sosio-religius yang mendahuluinya baik Katholik maupun Islam, penelusuran atas khasanah literasi kajian ruang publik memperlihatkan koneksitas komunikatif dengan rumusan maqasid syariah maupun al-masalahah al-mursalah dari sarjana-sarjana Muslim seperti Imam Syatibi yang berpijak pada hikmah-hikmah dari diterapkannya hukum adalah untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan ummat manusia.
Konvergensi antara prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak warga dengan Syariah juga ditegaskan oleh Muhammad Hashim Kamali (2013) yang menguraikan bahwa kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kebebasan dari rasa takut dan keadilan sosial adalah prinsip-prinsip utama dalam syariah Islam.
Komitmen Islam untuk menyelenggarakan keadilan sosial beserta advokasinya tidak dapat terselenggara tanpa pengakuan atas kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan dan tersedianya ruang bagi ummat untuk berdialog dengan pemimpinnya.
Apabila secara substansial-normatif Syariah Islam tidak memiliki masalah fundamental dengan prinsip-prinsip negara demokratik dan-dalam konteks Indonesia-Pancasila, sehingga tidak perlu diproblematisir kembali sebagai sebuah landasan hidup bersama, lalu dimanakah kita mesti mencari penyebab dari munculnya aspirasi NKRI Bersyariah?
Penjelasan yang berpijak pada konteks sosial sepertinya dibutuhkan melampaui penghakiman intelektual.