Medan, Seruji,com – Analisis Wak Lokot di Kedai Kopi Cik Minah by Ahsanul Fuad Saragih*
Abang termasuk orang yang tidak percaya Bapak Patrialis Akbar melakukan perbuatan hina -seperti pemberitaan yang dilansir media yang menyebut beliau menerima suap, sekalipun -katanya- ini Operasi Tangkap Tangan. Entahlah… ini soal feeling! Sebab dengan kekuasaan yang begitu luas yang dimiliki KPK dan bahkan sampai-sampai para pengamatpun menyebut sebagai lembaga “Super Body”, apa yang tidak bisa dilakukan mereka.
Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum kita harus tetap menjunjung tinggi asas “presumption of innocence / asas praduga tak bersalah”. Asas ini mengandung maksud bahwa seseorang harus dinyatakan tidak bersalah sampai pengadilan menyatakan ia divonis bersalah dalam keputusan yang sudah inkracht. Apalagi, banyak kejanggalan-kejanggalan yang terasa nampak telanjang dalam OTT tersebut. Akal sehat sulit untuk tidak mengatakan bahwa ini rekayasa, menyusul sikap dan statement-statement Bapak Patrialis Akbar yang tampak banyak berseberangan dengan rezim pemerintahan hari ini. Lihatlah misalnya bagaimana statement beliau menyangkut penistaan agama yang dilakukan A Hok, soal LGBT dan lain sebagainya. Walhasil nalar abang sulit untuk dicegah bahwa OTT ini tak lebih merupakan Operasi Tipu Tipu.
Selain itu, apa sih makna OTT itu? Apa bisa dibilang itu kehebatan dan prestasi cemerlang KPK? Uppsst…tunggu dulu. Abang yakin seyakin-yakinnya, jika lembaga Kepolisian dan Kejaksaan punya fasilitas yang sama -baik anggaran maupun political will negara seperti yang diberikan dan diperlakukan kepada KPK, kedua lembaga ini bahkan mungkin lebih hebat dari KPK.
Yuk kita bertanya! Berapa sih uang negara yang berhasil diselamatkan KPK? Dan berapa pula uang yang dihabiskan KPK untuk menyelamatkan uang negara itu? Ini yang dalam ilmu manajemen keuangan disebut cost benefit ratio yakni ratio antara cost dibanding benefit. Kalau ini yang kita jadikan alat ukur, sudah pantaskah KPK disebut “hebat”? Ini hal pertama.
Kedua, apakah tupoksi KPK itu cuma penindakan? Bukankah ada fungsi pencegahan? Kalau hingga kini OTT masih juga sering terdengar, itu berarti juga punya makna bahwa KPK gagal menjalankan fungsi pencegahan. Apa lagi kalau soal ini kita hubungkan dengan analisis cost benefit ratio tadi.
Ketiga, sulit untuk menampik kesan kalau KPK masih “tebang pilih”. Bahkan lembaga ini terkesan bisa dijadikan alat bagi rezim yang berkuasa untuk menebas lawan-lawan politiknya. Di rezim SBY ada nama LHI, AU. Di rezim Jokowi setali dua uang. Ada kasus Trans Jakarta, Sumber Waras, UPS. Kemana cerita kasus ini? Kok raib ditelan waktu?
Entahlah… entah mau kek mana bangsa kita ini. Sukak-sukak kelen aja laa. Tapi ingat! Si zhalim Fir’aun dan Raja Namrudz saja selesai juga kok.
*) Ahsanul Fuad Saragih, SH, MA, saat ini aktif sebagai Ketua KAHMI Medan, Wakil Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah Sumut, Sekretaris Umum Ikatan Alumni Fakultas Hukum USU, Wakil Sekretaris Umum DPD Gerindra Sumut, dan Ketua Pengurus Daerah Sumut Gerakan Muslim Kuasai Media. Media sosial: Facebook “Bang Ustadz”, Twitter @fuadsaragih
hal yg sama terjadi pada LHI, utk pembunuhan karakter PKS yg waktu itu mulai membesar, dihabisi sebelum jd besar..
negara preman…sak karepe dewe
Dunia terbalik layaknya sinetron di rcti,
Kayaknya ott ini emang pesenan kok