Pemerintah mengatakan bahwa garis kemiskinan ini sudah sesuai dengan standar World Bank atau PPP USD 1,9.
Cara ini cara gampang yang dilakukan terus menerus sejak puluhan tahun lalu, karena kita tidak mampu menghadirkan data penghasilan rakyat secara menyeluruh. Di Prancis, misalnya, garis kemiskinan merujuk pada data penghasilan. Garis kemiskinan di patok pada 60% rata2 penghasilan rakyatnya.
Selanjutnya, sampling orang miskin di Indonesia, berdasarkan survei Susenas yang berbasis keluarga. Setiap tahun dua kali, pada bulan Maret di survei 300 ribu keluarga dan bulan September 75.000 keluarga. Namun, angka penurunan yang dirilis pemerintah selalu angka individual, bukan keluarga. Tidak terlalu jelas cara konversinya.
Disamping itu, kerangka sample, sebagai tempat penarikan sampel, adalah 25% dari populasi kita. Sampel ini ditarik secara PPS (proporsional to size). Bagaimana membangun kerangka sampel ini, sehingga mewakili elemen elemen dalam populasi 250 juta rakyat, tidak dijelaskan dalam website BPS kita.
Near Poor dan Harga Telur
Ruchir Sharma, dalam bukunya The Rise and Fall of Nations, sub judul “the price of onion”, menceritakan bagaimana harga bawang jadi polemik besar dinegaranya, India, beberapa tahun lalu. Kenaikan harga bawang saat itu menjadi polemik nasional, karena semua orang India hidupnya hancur tanpa makanan berbumbu bawang.
Sebaliknya, harga bawang yang tinggi, telah menggerus kantong orang2 miskin dan utamanya, orang orang yang sedikit di atas kemiskinan.
Di Indonesia, harga telur melambung rp. 30.000 beberapa waktu lalu, dari sewajarnya rp 20.000 per kg. Menteri perdagangan mengatakan harga naik karena ada kejuaraan bola “world cup”, ada juga yang mengatakan karena harga pakan naik akibat dollar meroket, ada juga yang meegatakan efek lebaran, dll. Intinya terjadi kepanikan akibat naiknya harga telur. Karena telur sudah menjadi bagian kehidupan masakan kita. Tanpa telur, kehidupan hancur.