MENU

Berdagang Kemiskinan

Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Ada 3 hal penting yang dipikirkan komisi Stiglitz itu;

  1. Terjadi kegelisahan atas cara-cara statistik mengukur Indikator ekonomi dan kesejahteraan. Hanya 1/3 masyarakat Prancis dan Inggris, dan mungkin lebih besar untuk dunia lainnya, yang percaya ukuran resmi biro statistik. Kesenjangan antara ukuran statistik dengan perasaan kualitatif masyarakat mungkin bersumber dari ketidakmampuan statistik menggambarkan ukuran yang lebih komprehensif, khususnya menyangkut konsep dan domain kesejahteraan rakyat.
  2. Memikirkan sebuah konsep kesejahteraan yang sebelumnya lebih bersandar pada angka GDP, pertumbuhan dan inflasi, ke arah ukuran yang memasukkan keberlanjutan (sustainability), kualitas hidup dan kebahagian.
    Dalam posisi ini, lingkungan hidup, kepemilikan asset (wealth), ketimpangan, partisipasi politik, keamanan diri, merupakan unsur unsur penting yang akan membentuk indikator dalam pengukuran kesejahteraan tersebut.
  3. Komisi ini mengingatkan pentingnya membicarakan kemiskinan atau kesejahteraan sebagai tanggung jawab etik masyarakat (value of society). Sehingga isu terkait hal ini menjadi urusan moral, bukan sekedar angka angka statistik.

Selain pertemuan kaum akademisi di Perancis di atas, World Bank juga menghimpun 21 ahli kemiskinan dunia, pada 2016, yang disebut Atkinson Commission. Komisi yang dipimpin Professor Sir Anthony Atkinson memberikan 21 rekomendasi yang terbagi dalam 3 group, yang antara lain:

  1. Menetapkan USD (PPP) 1,9 – dimana saat ini 1 dollar PPP=5.300, sebagai standard “kemiskinan terburuk” atau “extreme poverty”. Ukuran ini disebut juga “International Poverty Line” (IPL), sampai tahun 2030.
  2. Mendorong digunakannya indikator lain selain ukuran absolut di atas (“ a multi-dimensioned poverty indicator based on the counting approach, and covering the overlap of dimensions”).
  3. Mengukur ketimpangan kemiskinan (deep poverty) sebagai bagian profil penting
  4. Mendorong perbaikan standard statistik populasi, indeks harga dan kemampuan survei penghasilan atau konsumsi 5) Dalam masa yang akan datang memasukkan “voice of the poor” atau pengukuran kemiskinan subjectif.

Bagaimana mengukur kemiskinan di Indonesia?

Di Indonesia, mengukur kemiskinan masih dengan cara lama, dari “economics performance”, bukan mengukur “well-being”. Statistik fokus pada poin garis kemiskinan, yang diambil dari penjumlahan angka rupiah garis kemiskinan makanan dan non makanan. Angka ini diperoleh dari penjumlahan harga makanan untuk membentuk unit 2100 kalori makanan perhari, dan harga beberapa harga non makanan. Saat ini, garis kemiskinan kita rp. 410.000.

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER