Jakarta adalah medan pertarungan yang “berdarah” jika dilihat dari perjalanan pemerintahan selama lima tahun terakhir ini. Betapa tidak, hanya dalam waktu lima tahun Gubernur DKI Jakarta berganti sebanyak empat kali: Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama dan Anies Rasyid Baswedan. Bagi saya, seberapa pun pentingnya karier politik bagi seorang politikus – bahkan hendak menjadi Presiden RI atau Wakil Presiden RI sekalipun –, tetap saja yang paling utama adalah pelaksanaan dari kata-kata. Bagaimana bisa kata-kata menjadi terlaksana, apabila pergantian gubernur terjadi sebagai kehendak (elite) politik semata?
Apalagi, Anies Rasyid Baswedan bagi saya bukan hanya sekadar seorang gubernur terpilih. Saya mengenali Anies melebihi setengah usia saya. Saya mengikuti perjalanan Anies sepanjang perkenalan itu.
Bukan hanya itu, saya malah”ikut campur” dalam proses itu. Saya mengundang Anies sebagai pembicara Simposium Nasional Angkatan Muda 1990-an di Universitas Indonesia pada tahun 1994. Saya melakukan komunikasi dalam kapasitas sebagai peneliti desentralisasi, kala Anies menyusun disertasi di Northern Illinois University. Disertasi dan kepakaran Anies: desentralisasi.
Saya ikut menjadi tim lobby agar Anies terpilih sebagai Rektor Universitas Paramadina, kala ia baru balik dari Amerika Serikat. Saat Anies menjadi Direktur Eksekutif The Indonesian Institute atau menjadi salah satu pimpinan di Parthnership for Governance Reform; saya adalah salah satu kolega yang ikut berkegiatan di dalamnya, baik dalam kapasitas Dewan Pakar The Indonesian Intitute atau Direktur Eksekutif Yayasan Harkat Bangsa yang beralamat di Jalan Proklamasi Nomor 41, Jakarta Pusat.
Dalam politik praktis, saya bersama Anies menjadi tim sukses Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Satu perdebatan yang masih saya ingat adalah Anies kurang percaya seorang intelektual belum bisa menjadi pemimpin nasional dalam siklus politik di Indonesia. Anies waktu itu masih percaya bahwa cadangan kepemimpinan nasional itu masih akan berasal dari kalangan pengusaha. Saya membantah argumen itu di salah satu media nasional dan menulis (kurang lebih): “Jangan-jangan, Anieslah yang menjadi salah satu pemimpin nasional dari kalangan generasi intelektual itu.” Usia perdebatan itu belum sampai sepuluh tahun.
Tanggal 7 Mei 2017 nanti, Anies berusia 48 tahun. Sementara, tepat pada hari kemenangan Anies (dan Sandiaga), saya berusia 45 tahun. Jarak usia kami adalah tiga tahun kurang beberapa hari saja. Tugas saya sebagai bayang-bayang Anies – bedakan dengan dayang-dayang — lebih tepat terasa dalam rentang usia itu. Bukan hanya itu, saya tentu juga paham cara kerja Anies, mengingat saya mengikuti sepak-terjangnya sejak menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia.
Saya tahu kelemahan-kelemahannya, baik atas dasar pengalaman pribadi, ataupun analisis atas jabatan yang ia pegang selama ini. Saya juga mencatat kritikan-kritikan yang disampaikan oleh pihak Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, serta seluruh armadanya. Amunisi saya untuk “menjatuhkan” Anies barangkali melebihi amunisi siapapun.
So? Jauh lebih baik saya dan organisasi yang saya pimpin yang melakukan kritikan kualitatif kepada Anies dan Sandi, daripada pihak yang mereka kalahkan. Kritik atas dasar empati, loyalitas dan persahabatan, tentu lebih memberi manfaat kepada bangsa ini daripada yang hanya atas dasar kekalahan, kebencian atau kepentingan politik saja…
Jakarta, 19 April 2017, pukul 21.01
merinding baca nya uda.
Mohon diingatkan untuk memenuhi janji nya.
Mantaap, gak punya kata lain selain itu.