SERUJI.CO.ID – Selesai sudah. Satu pertempuran di medan laga politik jangka pendek, tentu. Bukan satu peperangan abadi melawan ketidakadilan dan dehumanisasi.
Terus terang, bagi saya kemenangan dalam pertempuran politik tak layak masuk dalam catatan. Saya sering melewati “pesta kemenangan” jika itu terjadi. Biasanya, saya kembali ke kegiatan-kegiatan pribadi di area yang jarang sorot lampu kamera. Saya telusuri jalanan sunyi untuk menemukan jawaban demi jawaban dari masalah-masalah yang mungkin hadir di masa depan.
Bukan tak patuh, ketika saya juga melakukan hal yang sama pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012. Dalam putaran kedua, saya memberikan dukungan kepada pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama. Saya menolak untuk hadir dalam kegiatan pemenangan yang dilakukan oleh DPP Partai Golkar. Bahkan, saya lebih memilih pulang kampung, menanam buah naga, sembari terus memantau seluruh tim pemenangan yang saya bentuk.
Setelah Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dilantik, saya tidak pernah menginjakkan kaki di Balaikota. Hilang sama sekali “nafsu” saya untuk kesana. Saya baru datang pada tahun 2015, ketika diutus oleh Prof Dr Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi kala itu, guna menanyakan soal sistem penggajian Aparatur Sipil Negara (ASN) di DKI Jakarta. Selama Joko Widodo menjadi Gubernur, sama sekali saya tak pernah “menghadap”, walau ada beberapa fitnah yang muncul di media sosial.
Sikap yang sama juga terjadi, setelah Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI 2014-2019. Walau disebut-sebut dalam sejumlah “pooling” sebagai salah seorang calon favorit untuk posisi Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, saya sama sekali tak pernah merapat. Terakhir sekali bersalaman dengan Joko Widodo adalah di atas kapal phinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, pada saat pidato kemenangan, bertepatan dengan pengumuman Putusan Mahkamah Konstitusi RI yang memastikan penolakan atas gugatan yang dilakukan oleh Tim Hukum Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Saya baru bertemu dengan Jusuf Kalla pada saat rapat Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi Nasional RI di Kantor Wakil Presiden RI pada tahun 2015. Kebetulan, nama saya baru saja dicantumkan sebagai salah seorang anggota. Anggota lain adalah Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN), Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), dan Kepala Arsip Nasional, serta dua orang lagi. Status sebagai anggota Tim QA RBN RI inipun tidak mengikat. Nah, dalam kesempatan itu juga sejumlah menteri bertanya tentang apa pekerjaan saya. Menteri-menteri itu kebetulan sudah lama saya kenal, pun sama-sama menjadi anggota tim pemenangan.
Kini? Hasil quick count menyebutkan kemenangan yang termasuk besar dan luar biasa kepada pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Sejak putaran pertama, saya menyatakan dukungan terbuka kepada keduanya. Di putaran kedua, satu organisasi kami dirikan guna memberikan dukungan yang lebih serius, yakni Sang Gerilyawan Batavia. Organisasi ini dideklarasikan pada tanggal 03 Maret 2017 tepat pada pukul 15.33 WIB di Jalan Veteran I, Jakarta Pusat.
Apakah sikap yang sama juga saya lakukan sekarang? Let’s see. Yang jelas, pada saat Sang Gerilyawan Batavia dideklarasikan sebagai pendukung pasangan Anies-Sandi, sama sekali tak ada platform “merapat” di dalamnya. Bahkan dengan jelas kami katakan bahwa kami siap menjadi organisasi pergerakan yang melakukan kontrol secara menyeluruh terhadap pemerintahan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno. Tanggungjawab kami tidak sebatas memenangkan, tetapi memastikan perjalanan pemerintahan berlangsung sesuai dengan platform, program, bahkan janji dan “ideologi” politik yang disampaikan.
merinding baca nya uda.
Mohon diingatkan untuk memenuhi janji nya.
Mantaap, gak punya kata lain selain itu.