Tindakan nyata
Bantuan kemanusiaan dari masyarakat dan pemerintah Indonesia dipastikan akan terus dikirimkan bagi Muslim Rohingya, demikian pula penyelesaian melalui jalur diplomasi akan terus diupayakan.
Namun, sebanyak-banyaknya bantuan yang dikirimkan dan sekuat-kuatnya diplomasi di tingkat pemerintah beberapa negara, kenyataannya, sedikitnya 1.000 orang telah terbunuh, termasuk orang tua, wanita, dan anak-anak Muslim Rohingya, sementara 370.000 warga telah mengungsi ke Bangladesh.
Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat karena Pemerintah Myanmar belum berhenti menganiaya warga Muslim Rohingya. Padahal jumlah Muslim Rohingya di Myanmar hanya sekitar 1,1 – 1,3 juta jiwa dari total populasi 52,8 juta jiwa yang sekitar 88-89 persen merupakan penganut agama Budha.
Penerima Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi yang diharapkan membela kaum minoritas ternyata mendiamkan krisis etnis di Rakhine, bahkan dalam wawancara dengan BBC pada 6 April 2017 dia menyangkal terjadi pembersihan etnik dan menyebut konflik di Rakhine disebabkan Muslim membunuh Muslim karena mengira mereka berkolaborasi dengan pihak berwenang.
Genosida atas Muslim minoritas tidak hanya terjadi di Myanmar. Sebelumnya, sepanjang 1992 hingga 1995, sekitar 100.000 Muslim Bosnia dibantai oleh tentara Serbia sehingga peristiwa itu dianggap sebagai genosida terburuk sejak pembantaian enam juta Yahudi oleh Nazi selama Perang Dunia II (1939-1945).
Saat perang Bosnia-Herzegovina pecah, Indonesia dipimpin oleh Presiden Soeharto yang sangat terusik oleh tindakan biadab atas Umat Muslim di kawasan Balkan tersebut hingga memutuskan untuk mengunjungi Bosnia guna menengahi konflik etnik itu.
Mencapai Bosnia saat itu bukan perkara mudah, bahkan bila hal itu dilakukan oleh seorang presiden sekalipun. Dua hari sebelum rombongan Indonesia berangkat ke Bosnia, pesawat milik PBB yang melintas di wilayah negara itu ditembak jatuh pada 11 Maret 1995.
Presiden Soeharto dan pejabat pemerintah yang mendampinginya, Mensesneg Moerdiono, dan Menlu Ali Alatas harus menandatangani dokumen yang menegaskan PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu.
Pada 13 Maret 1995, Soeharto tiba di Bandara Sarajevo dan disambut oleh Diplomat Jepang yang juga Kepala Misi Perdamaian PBB, Yasushi Akashi.
Kunjungan dan pembicaraan antara Presiden Indonesia Soeharto dan Presiden Bosnia Alija Izetbegovic di gedung kepresidenan ibukota itu tentu tidak serta merta menghentikan genosida di kawasan Balkan.
Namun, kehadiran Soeharto menunjukkan dukungan kuat dan nyata dari sebuah negara Muslim terbesar di dunia dalam menghentikan pembantaian Muslim Bosnia.
Kunjungan seorang tokoh di negeri yang sedang pecah konflik menguatkan sinyal perdamaian dan menegaskan rasa empati atas kondisi memprihatinkan yang terjadi, terutama bagi para korban, seperti saat Putri Diana mengampanyekan pembersihan ranjau di Angola pada Januari 1997.
Diana tidak ikut menjinakkan ranjau-ranjau yang merupakan warisan perang kemerdekaan Angola dari pendudukan Portugal dan perang saudara puluhan tahun di negara Afrika tersebut. Namun, foto Diana dengan pakaian pelindung yang berjalan di tengah ladang ranjau Huambo pada 15 Januari 2017 mengalihkan perhatian dunia pada masalah di Angola, sekaligus memberi semangat bagi Organisasi Pendukung Kehidupan di Daerah Berbahaya (HALO) Trust yang melakukan pembersihan ranjau di Angola yang memiliki 10 juta ladang ranjau dari 37 juta ladang ranjau di seluruh wilayah Afrika.