MENU

Fadli Zon Minta KPK dan BPK Selidiki Transaksi Divestasi Freeport

JAKARTA, SERUJI.CO.ID – Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyelidiki transaksi divestasi saham PT Freeport Indonesia yang dilakukan Pemerintahan Presiden Jokowi pada 21 Desember 2018 lalu.

Permintaan tersebut disampaikan Fadli Zon untuk membuktikan transaksi yang dilakukan oleh pemerintah benar-benar bebas korupsi atau tidak.

Fadli mengatakan transaksi pembelian 51,23 persen saham Freeport Indonesia oleh PT Inalum yang menelan dana yang besar sampai dengan US$3,85 miliar atau sekitar Rp56,1 triliun.

Ia khawatir transaksi yang cukup besar tersebut di kemudian hari menjadi skandal besar, seperti yang pernah terjadi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi Bank Bali menjelang Pemilu 2004 lalu, SKL BLBI, dan skandal besar lain tiap menjelang pemilu.

“Di periode transisi kekuasaan, yaitu saat-saat menjelang Pemilu dan Pilpres, mestinya tidak banyak keputusan-keputusan besar dan strategis yang dieksekusi, karena rawan terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya,” kata Fadli seperti dikutip dari akun Twitter miliknya, Jumat (4/1).

Apalagi sepanjang pengamatannya, transaksi divestasi yang dilakukan pemerintah selama ini tidak konsisten dan transparan.

Baca juga: Proses Divestasi Tuntas, Kontrak Karya Freeport Resmi jadi IUPK

“Menteri Luhut Pandjaitan pernah menyatakan di @DPR_RI bahwa kontrak PTFI akan dibiarkan habis baru kemudian diurus. Tapi kenyataannya kan lain,” kata Fadli.

Presiden Jokowi beberapa waktu lalu mengatakan divestasi saham Freeport tersebut merupakan kado terindah pemerintah buat masyarakat Indonesia di penutupan 2018. Jokowi mengatakan menggengam 51 persen saham Freeport Indonesia bukan pekerjaan mudah. Pemerintahannya perlu bernegoisasi selama 3,5 tahun agar mayoritas saham Freeport Indonesia bisa digenggam.

Meskipun sudah menggenggam mayoritas saham Freeport, Fadli menilai itu semua bukan kemenangan untuk Indonesia.

Ia menilai justru kemenangan didapatkan Freeport Indonesia. Fadli mengatakan kewajiban mendivestasikan 51 persen saham Freeport merupakan tuntutan Kontrak Karya II dan juga UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Baca juga: BPN Prabowo-Sandi: Jokowi Ambil Alih Saham Freeport Pakai Dana Asing

Sesuai dengan undang-undang, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada 2019. Tapi, sebelum waktu tersebut datang, Pemerintahan Jokowi sudah memberikan perpanjangan kontrak kepada PT Freeport Indonesia berbentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus dan membeli saham mereka.

“Itu sebabnya saya heran, kenapa hari ini muncul framing seolah pembelian 51 persen saham Freeport yang menggunakan duit utangan itu dianggap sebagai kemenangan perundingan pihak kita,” katanya.

Fadli mengatakan framing kemenangan yang disampaikan pemerintah dalam proses divestasi saham Freeport merupakan pembodohan. Menurutnya semua pihak perlu mendalami masalah divestasi saham Freeport agar tak terus terjebak dalam pembodohan tersebut.

Ada lima masalah utama yang menurutnya perlu didalami. Antara lain, pertama, basis legalitas perundingan yang menurutnya telah melenceng dari UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Baca juga: Divestasi Freeport, Fahri Hamzah: Bisa Jadi Mega Skandal Lebih dari Skandal Bank Century

Kedua, kewajiban hukum Freeport paska proses divestasi. Fadli mengatakan setelah PT Inalum menjadi pemegang saham mayoritas Freeport Indonesia, semua masyarakat harus selalu mengikuti upaya pemerintah dalam menagih kewajiban hukum yang harus ditunaikan Freeport sebelum pembelian mayoritas saham Freeport selesai.

Kewajiban hukum tersebut salah satunya berkaitan dengan pembangunan smelter yang nilai investasinya US$2,6 miliar.

“Siapa yang membiayai? Apakah investasi pembangunan smelter itu, yang mestinya telah dilakukan Freeport sejak 2009 silam, juga akan dibiayai menggunakan uang US$3,85 miliar,” katanya.

Kewajiban hukum lain, soal pembayaran denda Rp460 miliar atas penggunaan hutan lindung yang dilakukan Freeport tanpa izin. Padahal, kata Fadli, denda itu wajib dilunasi dalam dua tahun ke depan.

“Jadi, sangat menggelikan jika semua kewajiban tadi pada akhirnya justru harus dibayar oleh kita sendiri. Lalu, di mana klaim kemenangan yang kini sedang digembar-gemborkan Pemerintah?!” ujarnya.

Ketiga, kata Fadli, kita perlu mempertanyakan langkah Inalum membeli saham PTFI menggunakan global bond. Sebab, dalam aturan global bond, kita tak bisa melarang kalau Freeport McMoran yg semula menjad pemegang saham mayoritas PTFI ikut membeli global bond yang diterbitkan Inalum.

“Masalahnya, jika global bond Inalum yang digunakan untuk membeli Freeport Indonesia juga dipegang oleh Freeport McMoran, bukankah ini hanya dagelan belaka?” ujarnya.

Keempat, kata Fadli, masih terkait penerbitan global bond oleh PT Inalum, kita juga perlu mempertanyakan menggelembungnya utang BUMN dalam tiga tahun terakhir. Dengan penerbitan global bond sebesar US$4 miliar, PT Inalum kini memiliki kewajiban utang global yang besar sekali. Inalum diperkirakan harus membayar beban kupon sebesar Rp1,7 triliun setiap tahun.

“Ini bisa menempatkan perusahaan tersebut pada posisi berisiko,” terangnya.

Dan terakhir, kelima, untuk transaksi yang melibatkan angka puluhan triliun semacam ini, menurut Fadi, BPK dan KPK harus ikut memeriksa.

“Jangan lupa, transaksi besar ini terjadi di periode transisi kekuasaan. Potensi moral hazard-nya sangat tinggi. Jangan sampai ada tradisi transaksi besar di setiap periode menjelang Pemilu,” pungkasnya. (SU05)

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER