SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Sejumlah orang tua (Ortu) siswa SMA/SMK di Surabaya mengeluhkan adanya wacana kenaikan biaya sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) yang diberlakukan beberapa sekolah di Kota Pahlawan ini.
“Ya, kalau SPP naik, agak pusing juga. Untuk biaya hidup sehari-hari saja sudah pas-pasan,” kata salah seorang warga Surabaya, Welly Hariyanto ketika dimintai pendapat terkait wacana kenaikan SPP di Surabaya, Kamis (21/6).
Menurut Welly, salah seorang anaknya tahun ini bakal masuk ke jenjang SMA/SMK setelah lulus dari SMP. Tentunya hal ini membuatnya harus mencari cara agar anaknya bisa melanjutkan sekolah. Dengan usaha membuka warung kopi, tidak banyak pilihan dari Welly untuk mengumpulkan uang dari sumber pendapatan. Begitu juga dengan istrinya, Heni Purwanti, sebagai ibu rumah tangga sesekali membantu menjaga warung kopi miliknya. Hal senada juga dialami Djumain. Pria 48 tahun yang sehari-hari sebagai kuli batu ini juga mempunyai seorang putra yang kini sudah tidak bersekolah. Seharusnya, lanjut dia, putranya bersekolah di jenjang SMA/SMK, namun karena tidak ada biaya, maka keputusan berhenti mengenyam bangku pendidikan pun harus diambil.
Dengan penghasilan Rp2 juta per bulan, Djumain harus menghidupi istri dan empat anaknya.
“Ya, jujur sebenarnya sedih ketika anak saya tidak bisa bersekolah. Tapi, ya mau gimana lagi,” katanya dengan nada pasrah.
Wacana kenaikan SPP untuk SMA/SMK memang mengemuka di media beberapa hari terakhir. Penyebabnya, banyak sekolah yang merasa tidak mampu menjalankan operasional sekolah. Meski sudah adanya surat edaran Gubernur Jawa Timur tentang besaran SPP, sekolah mau tidak mau harus mencari sumber dana operasional lain, yang dipungut dari siswa.
Sementara itu, banyaknya keluhan dari siswa putus sekolah yang masuk ke Pemkot Surabaya mengundang keprihatinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Risma mengungkapkan bahwa banyak organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemkot Surabaya seperti dinas pendidikan, dinas pengendalian penduduk, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas sosial, hingga bagian kesejahteraan rakyat, yang mendapatkan keluhan dari masyarakat.
Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menjelaskan banyaknya siswa SMA/SMK yang harus menghabiskan waktu berjualan nasi goreng, hingga ojek daring di sela-sela aktivitas belajar-mengajar. Para siswa tersebut lantas di data hingga ke rumah masing-masing. Hasilnya, para siswa itu berpotensi putus sekolah.
Menurut Risma, hal tersebut bertentangan dengan semangat kemerdekaan, dimana seharusnya seluruh lapisan masyarakat berhak mengenyam pendidikan minimal wajib belajar dua belas tahun.
“Masa hanya yang mampu saja yang bisa bersekolah. Kalau begini kan sama saja saat era penjajahan dulu,” katanya.
Oleh karenanya, Pemkot Surabaya tidak tinggal diam. Selama ini, para pelajar yang putus sekolah atau kedapatan berada di tempat-tempat yang tidak semestinya didata dan didampingi. Pemkot Surabaya memberikan intervensi bagi keluarga mereka, seperti jaminan kesehatan (BPJS), hingga penyaluran di bursa kerja. Hanya saja, upaya tersebut tetap tidak bisa terlalu banyak berpengaruh terhadap sektor pendidikan karena terhalang aturan. (Ant/Su02)