Oleh: Denny JA
SERUJI.CO.ID – “Bagi saya mendewa-dewakan mereka yang mengaku keturunan Nabi adalah bentuk perbudakan spiritual. Bung Karno puluhan tahun yang lalu sudah mengeritik keras fenomena yang tidak sehat ini”
Teks ini yang langsung teringat ketika hari ini saya mendengar wafatnya Syafii Maarif. Teks ini dituliskan di akun twitternya sendiri, di @SerambiBuya, tanggal 21/11/2020.
Syafii Maarif sangat kritis dengan kesan diagung-agungkannya seorang tokoh hanya karena isu ia dianggap keturunan Nabi Muhammad. Apalagi jika yang diisukan keturunan Nabi itu tidaklah mengesankan ulama yang pro cara berpikir modern.
Mengagungkan seseorang karena isu keturunan Nabi dianggap bertentangan dengan ajaran Islam yang progresif. Dalam Islam, semua orang pada dasarnya setara belaka. Hanya ketakwaannya yang membedakan, bukan asal usulnya.
Tak ada jaminan seorang keturunan Nabi, Raja, Guru Suci, atau keturunan Presiden, Konglomerat, lebih bertakwa dibandingkan individu lain. Lalu apa faedahnya mengagung-agungkan seseorang karena keturunannya?
Dalam kesempatan lain, Syafii Maarif juga cukup keras. Ujarnya, banyak dari kita yang tak bisa dan tak mau membedakan. Yang mana ajaran Islam, dan yang mana budaya Arab.
Celakanya, sambung Buya Syafii, ada budaya Arab yang sudah rongsokan, yang sudah jatuh, justru kita banggakan di Indonesia. Budaya rongsokan itu kita agung- agungkan. Munculah itu aneka radikalisme. ISIS adalah puncak warisan rongsokan budaya Arab. (1)
Hari ini, cendikiawan muslim, yang sangat keras melawan politisasi agama, yang acap disebut guru bangsa itu sudah tiada.