Hasil dana IPO cukup mendongkrak kinerja. Omzet tahun 2019 Rp 215 miliar alias naik 87% dibanding tahun sebelumnya. Kenaikannya bagus, tetapi sejatinya ini kalah jauh dibanding pertumbuhan aset yang naik 369% dari Rp 147 miliar menjadi Rp 543 miliar.
Laba naik 140% dari Rp 5 miliar menjadi Rp 7 miliar. Kenaikan laba juga belum sebanding dengan kenaikan aset. Dengan demikian, BBS belum bisa mempertahankan ROA. Sebelum IPO adalah 3,4% yaitu laba Rp 5 miliar dari aset Rp 147 miliar. ROA setelah IPO adalah 1,3% yaitu laba Rp 7 miliar dari aset Rp 543 miliar.
Belum bisa mempertahankan ROA adalah salah satu penanda bahwa perusahaan belum menemukan Revenue and Profit Driver (RPD). Menemukan RPD artinya perusahaan sudah mampu mengonversi aset menjadi omzet dan laba dengan kenaikan yang linier.
Tapi mungkin ada alasan waktu mengingat dana IPO baru diterima pada pertengahan tahun. Untuk itu bisa kita lihat pada periode berikutnya. Tahun 2020 omzetnya Rp 76 miliar dengan laba tahun berjalan Rp 3 miliar. Posisi aset akhir tahun adalah Rp 550 miliar. Asetnya relatif tetap. Artinya, tahun 2020 pun BBS belum bisa menunjukkan kemampuan mengonversi aset menjadi omzet dan laba. Kondisi pandemi menjadi faktor eksternal bisa menjadikan para pemangku kepentingan memahaminya.
Ditelusuri lebih dalam, ternyata sebenarnya secara operasional perusahaan rugi. Omzet Rp 76 miliar tetapi biaya operasi Rp 157 miliar. Akhirnya perusahaan masih membukukan laba walaupun kecil karena ada pendapatan dari hasil investasi aset finansial sebesar Rp 62 miliar plus ada pendapatan keuangan (sebagian besar dari bunga deposito dan obligasi) sebesar Rp 18 miliar
Tahun 2021 omzet naik menjadi Rp 199 miliar. Tapi kondisinya masih seperti tahun sebelumnya. Biaya operasional Rp 190 miliar. Perusahaan mencatatkan laba tahun berjalan Rp 194 miliar karena ada pendapatan hasil investasi Rp 171 miliar.
Bagaimana tahun 2022? Semester pertama perusahaan membukukan pendapatan Rp 175 miliar. Biaya operasional Rp 156 miliar. Tidak ada pendapatan investasi signifikan sehingga laba tahun berjalan Rp 26 miliar. Sumbangan pendapatan keuangan adalah Rp 6 miliar. Ini ada tanda-tanda kondisi membaik. ROA dengan laba setengah tahun 3,3%. Lebih baik dari sebelum IPO. Padahal baru satu semester. Kalau semester kedua kinerjanya serupa ROA akan menjadi 2x IPO.
Itulah kinerja BBS setelah IPO. Kondisi pandemi masih jadi kendala untuk membuktikan bahwa perusahaan mampu mendayagunakan dana hasil IPO untuk melalui corporate life cycle menjadi korporati sejati. Mampukah BBS? Kita tunggu tahun-tahun yang akan datang.
Artikel ke-385 karya Iman Supriyono ini ditulis di SNF House of Managment pada tanggal 4 Oktober 2022

