MENU

Pribumi vs Non Pribumi

Oleh sekali lagi, istilah pribumi dan non pribumi dipakai yang dipakai di Indonesia kitanya dipahami sebagai bukan statemen ras dan etnis. Tapi sebuah ungkapan tentang realita “ketidak adilan sosial ekonomi” yang cenderung dimonopoli oleh sebagian etnis tertentu.

Ada pula yang merespon dengan merujuk kepada sang gubernur yang keturunan Arab (Yaman). Respon ini justeru jawaban langsung terhadap isu itu sendiri. Kenapa orang-orang Arab/Yaman tidak diidentikkan dengan non pribumi? Jawabannya karena mereka telah ikut berjuang memerdekakan, bahkan terlibat dalam membangun bangsa dan negara ini. Salah seorang pejuang bangsa, khususnya di bidang pendidikan adalah ayah sang gubernur AR Baswedan.

Saya sangat yakin jika semua etnis di negara ini, apapun itu, mampu meleburkan diri (tanpa kehilangan identitas pribadi/kelompok) menjadi bagian bangsa ini, mengambil tanggung jawab dalam membangun, dan tentunya yang terpenting tidak memonopoli kekayaan negara, maka istilah pribumi dan non pribumi tidak perlu terjadi.

Maka kita tidak perlu over sensitif dengan sebuah istilah. Sebaliknya kita harusnya membangun sensitifitas tinggi terhadap “ketidak adilan sosial dan ekonomi” di negara ini. Sebab keragaman adalah keniscayaan dan alami. Hanya saja keragaman itu perlu diikat oleh tenggang rasa yang terbangun di atas kesadaran “social justice” (keadilan sosial) yang memang menjadi tujuan utama pembangunan negara.

Ingat, istilah ini juga harusnya berlaku bagi warga non China, termasuk Makassar Bugis, Minang, Jawa, Sunda, dan seterusnya. Jika tidak peduli dengan keadilan ekonomi sosial maka mereka juga harusnya masuk dalam kategori non pribumi. Tinggal di Indonesia tapi hatinya tidak sepenuhnya cinta bangsa dan negara. Atau dalam bahasa seorang konglomerat: “Indonesia itu hanya Ibu tiri”. Orang seperti ini bagaikan benalu yang menghisap batang negara ini hingga meradang.

Tapi begitulah jika keinginan “move on” (legowo arau nrimo) sulit terbangun. Baru sehari sang gubernur dilantik, bahkan sebelum dilantik pun sudah pada ingin melihat semua masalah Jakarta diselesaikan. Cmon man!

New York, 17 Oktober 2017

*) Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation

 

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

3 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER