Bukan Kesimpulan
Dari sejumlah diskusi dengan warga Muslim di UK, terungkap informasi bahwa mereka yang sangat hafal dan selalu mengulang-ulang kata-kata secara verbal berisi merendahkan, menghina, mencaci, memaki, dan ungkapan nonverbal seperti supir bus tidak mau menerima penumpang berhijab dan lainnya, dilakukan oleh warga keturunan konservatif UK. Mungkin lebih tepat warga kolot-kampungan.
Biasanya mereka adalah warga yang takut kehilangan hidup nyaman dari subsidi pemerintah atau takut kehilangan pekerjaan. Terungkap pula bahwa mereka itu sangat jarang bertemu dengan orang asing, dan berasal dari keluarga yang tidak memiliki keluarga dari keturunan bangsa lain, terasing dari keluarga intinya, dan sangat individualis.
Faktor internal ini didukung oleh ‘iklan’ bertubi-tubi media setempat tentang pandangan palsu, sumir, dan sepihak atau bahkan tendensius tentang Islam dan kaum Muslim guna memicu kebencian. Ketakutan tanpa alasan ini, rasis dan penuh kebencian terhadap Muslim juga menjadi bahan kampanye pemilihan presiden di AS serta kampanye Inggris untuk keluar dari perkumpulan Eropa (European Union). Siapa di belakang medianya? Tulisan ini bukan untuk menjawabnya.
Hanya saja, bila cara membuat kesimpulan masyarakat barat yang melompat ini juga dijadikan sebagai dasar untuk menyimpulkan perilaku mereka? Apakah dari kasus ini dapat dibuat kesimpulan bahwa seluruh rakyat Inggris tidak beradab? Tidak punya toleransi? Tidakkah pelajaran mereka mendapat pendidikan tentang kemanusiaan dan tatakrama? Bukankah bangsa ini sudah menjelajah separuh bumi untuk menguras kekayaan negeri-negeri yang mereka jajah dan mereka bersua dengan beragam jenis budaya, agama dan tradisi? Tidakkah negeri ini termasuk yang nyinyir tentang penegakan hak azasi manusia di luar negaranya?
Apa pun itu, terbukti bahwa masyarakat UK saat ini tengah berbondong-bondong untuk mengetahui lebih banyak tentang Islam dan Muslim. Walaupun Alquran berumur lebih dari 1.400 tahun ternyata ada di negeri Ratu Elizabeth ini, namun mereka berabad-abad terhalang untuk mengetahuinya.
Kini, mereka ingin mengenal lebih dekat, lebih mendalam, lebih nyata secara langsung apa yang dikabarkan media mereka tentang sesuatu yang menakutkan.. Bukan dari kicauan media ‘pengompor’, tapi dari interaksi mereka dengan sumber ajaran Islam, Al-quran.
Dalam sebuah diskusi di Univesitas Essex pada penghujung tahun lalu Yusha Evans, mualaf keturunan Amerika Serikat yang aktif berdakwah menyatakan lebih kurang tentang kondisi masyarakat barat. Menurut Evans, mereka tidak tahu dan tidak mengenal tentang Islam. Bila mereka tahu, maka pastilah mereka akan mendatanginya.
Di sinilah tugas kaum Muslimin untuk menyampaikan kepada mereka arti Islam melalui pergaulan sembari menunjukkan identitas, citra dan informasi secara terbuka dan adil.
Memang, untuk memastikan bahwa berita yang dibaca benar, memang perlu menjadi pembaca yang cerdas, dan untuk menjadi pembaca yang cerdas tidaklah sulit. Selalulah ber-tabayyun dengan berita yang telah dibaca dalam arti harus selalu cek dan ricek sambil terus belajar dengan membaca dan bertanya. Bila tidak, maka phobia lama akan terus dipeliharan sementara phobia baru yang mendukung phobia lama akan semakin mendapat tempat.
Keterangan foto: ilustrasi (ist)