Deputi bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Perlindungan Sosial Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Tubagus Ahmad Choesni, mengatakan ada dua hal yang harus kita lakukan untuk menghindari defisit keuangan BPJS, yakni penerima digenjot dan pengeluaran ditekan terus.
Sekarang untuk mengurangi beban pembayaran, BPJS melakukan pengetatan pembayaran klaim dengan cara penundaan klaim tagihan dan kemudian mencicilnya. Misalnya tagihan maret belum lunas, tagihan April sudah dibayar sebahagian sehingga kesannya BPJS membayar tanpa menunda.
Untuk efisiensi dalam pembiayaan obat, BPJS hanya membayar harga obat yang tertera di e-katalog. Dengan alasan tidak ada dalam e-katalog, BPJS tidak mau membayar obat walau tersedia dalam formularium nasional. Harga e-katalog sangat rendah dibandingkan harga yang tersedia dipasar. Bahkan ada farmasi yang berusaha untuk memberikan diskon sampai 60 persen, tapi ternyata harganya masih jauh di atas harga e-katalaog. Sangat tidak mungkin bagi dokter untuk meresepkan obat yang dibutuhkan pasien sementara dalam e-katalog tidak tersedia.
Untuk rawat jalan, semua penyakit untuk RS Kelas C dibayar 1 kali kunjungan Rp 192 ribu, termasuk biaya dokter, rontgen, laboratorium dan obat. Jika ada kelebihan biaya, maka itu jadi tanggungan rumah sakit. Padahal pasien yang banyak berkunjung ke Rumah sakit sebagai PPK II adalah penyakit kronik dan berat yang tidak bisa ditanggulangi di PPK I. Semuanya membutuhkan laboratorium yang tidak sederhana dan membutuhkan pemeriksaaan penunjang untuk menegakkan diagnosanya. Apakah agar jangan ada kelebihan biaya, dokter harus mengurangi obat supaya tidak melebihi plafon yang ditetapkan BPJS? Sebuah pilihan yang sangat tidak manusiawi karena dokter dituntut untuk bekerja profesional.
BPJS yang merupakan metamorfosis dari Askes, mempunyai sistem yang sangat jauh beda dengan Askes. Jika di Askes pasien boleh memilih obat dan layanan yang diinginkan, sedangkan di BPJS pasien tidak punya pilihan selain dari layanan yang telah ditetapkan BPJS.
BPJS berkukuh tidak membolehkan cost sharing/iur biaya oleh pasien, walau pasien dan rumah sakit sudah sepakat. BPJS beralasan semuanya sudah ada plafonnya dan BPJS akan bayar sesuai plafon sebuah kasus. Jika ada kelebihan plafon, itu beban rumah sakit dan tidak boleh ditarik dari pasien. Jika masih ada iur bayar, BPJS akan menegur rumah sakit.
Coba di cek, Klaim dari Rumah Sakit atau Puskesma sudah sesuai dengan apa yang dinikmati pasien? Kemungkinan Mark Up itu sangat besar, kadang kita cuma disodori surat pernyataan telah selesai dan keluar dari RS tanpa dikasih tahu perincian biayanya. Saya pernah minta, tapi ribet dan muter muter alasannya, krn sudah tinggal pulang, ya sudah tanda tangan saja.
Klaim bpjs itu bukan sesuai tindakan atau obat, tp paketan sesuai diagnosa dan untuk klaim ada kriteria sendiri dari bpjs, jadi kalo di mark up masalah pembiayaan ga ada untungnya buat rs.
Kalau pemerintahan memberlakukan spt perusahaan pasti rakyat yg jadi korban, di beberapa rumah sakit banyak pasien yg dijatah rawat inapnya.Bukan karena sembuh tapi karena sudah habis waktu inapnya dan sudah ditunggu pasien lain.