Sekarang BPJS semakin jauh terlibat dalam program kesehatan masyarakat. Untuk menurunkan angka kesakitan, BPJS meminta pusat pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS untuk melakukan tindakan preventif. Diharapkan dengan adanya usaha preventif, maka angka kesakitan menurun sehingga BPJS dapat lebih efisien dalam penggunaan dananya.
Suatu hal yang aneh, disaat BPJS kekurangan dana untuk pembayaran klaim rumah sakit, tapi BPJS menggunakan uangnya untuk kegiatan promotif dan preventif. Sekilas biayanya tidak besar, tapi jika dikumulatifkan seluruh Indonesia, sudah berapa bulan klaim rumah sakit yang bisa ditutupinya.
Pola yang dilakukan BPJS membuat manajeman RS kelimpungan untuk pembiayaan operasional. Masih untung bagi rumah sakit pemerintah yang operasionalnya dibiayai dengan APBD dan APBN. Tapi kiamat bagi RS swasta karena harus menutupi operasional ditengah piutang yang membengkak. BPJS secara tidak langsung mengharuskan RS punya dana cadangan yang berlipat. BPJS berusaha untuk mencagah terjadinya fraud dan lebih bayar, namun sebaliknya melakukan kurang bayar. Sebuah perlakuan yang tidak adil untuk RS provider BPJS.
Terasa aneh ketika defisit dari tahun ke tahun makin membesar, namun BPJS tidak mau menaikkan iuran atau membatasi manfaat program bagi masyarakat pengguna sesuai kemampuan bayar BPJS. Alasan yang diberikan karena ini “sebagai komitmen luar biasa dari pemerintah agar tetap bisa menghadirkan negara bagi rakyatnya di sektor kesehatan”. Akibatnya BPJS tidak sanggup membayar tagihan dari rumah sakit yang menjadi providernya. Padahal pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan telah meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan efisiensi dalam biaya operasional guna mengurangi pengeluaran BPJS yang hingga kini neracanya masih tekor.
Sebagai usulan, perlu BPJS memikirkan dibolehkannya iur bayar bagi pasien terutama untuk pasien yang punya kemampuan membiayai dirinya. Misalnya pelayanan untuk kelompok diagnosis penyakit-penyakit jantung dibatasi. Biaya diluar plafon ditanggung dengan iur bayar. Pasti defisit hilang dengan sendirinya. Dengan demikian, pasien akan mendapatkan layanan yang dia inginkan dan sesuai dengan diagnosisnya tanpa harus menambah beban BPJS dan RS provider BPJS tidak dirugikan. Penambahan bayar ini bisa diatur dan disepakati bersama agar pasien tidak dirugikan dengan adanya klaim ganda.
Penambahan iur bayar bagi mereka yang mengambil kelas lebih tinggi juga sebagai solusi untuk menutupi defisit BPJS. Sudah merupakan adabnya bagi mereka yang mempunyai uang untuk mengambil kelas yang lebih tinggi. Bagi mereka yang berduit, uang bukan masalah. Mereka lebih megutamakan bentuk layanan.
*) Penulis adalah salah satu Dokter Pengasuh Rubrik Kesehatan SERUJI
(SU02)
Coba di cek, Klaim dari Rumah Sakit atau Puskesma sudah sesuai dengan apa yang dinikmati pasien? Kemungkinan Mark Up itu sangat besar, kadang kita cuma disodori surat pernyataan telah selesai dan keluar dari RS tanpa dikasih tahu perincian biayanya. Saya pernah minta, tapi ribet dan muter muter alasannya, krn sudah tinggal pulang, ya sudah tanda tangan saja.
Klaim bpjs itu bukan sesuai tindakan atau obat, tp paketan sesuai diagnosa dan untuk klaim ada kriteria sendiri dari bpjs, jadi kalo di mark up masalah pembiayaan ga ada untungnya buat rs.
Kalau pemerintahan memberlakukan spt perusahaan pasti rakyat yg jadi korban, di beberapa rumah sakit banyak pasien yg dijatah rawat inapnya.Bukan karena sembuh tapi karena sudah habis waktu inapnya dan sudah ditunggu pasien lain.