Fenomena harga bawang di India dan harga telur di Indonesia, adalah jendela bagi kita untuk melihat isu dan definisi kemiskinan kita. Dibalik klaim terjadi penurunan kemiskinan yang dibesar-besarkan dan jumlah kemiskinan sudah di bawah “double-digits”, Indonesia menyimpan potensi orang miskin lainnya, yang diakui pemerintah sejumlah 69 juta jiwa, yang disebut rentan miskin (Near Poor). Kelompok ini akan kembali masuk dalam katagori miskin absolut, sedikit saja terjadi gejolak harga makanan. Sebab, komposisi makanan (yang sering terkena inflasi) dalam ukuran garis kemiskinan merupakan komponen dominan.
Mrskipun harga telur sudah diintervensi pemerintah sehingga mendekati harga normal, namun kita akhirnya sadar bahwa sesungguhnya kemiskinan kita tidak berubah banyak. Klaim-klaim statistik bisa jadi berbahaya sangat memabukkan, karena sesungguhnya, jumlah orang miskin dalam realitanya tidak berubah, bahkan bisa lebih buruk lagi.
Sharing Prosperity
Dalam rekomendasi Komisi Atkinson (World Bank), “sharing prosperity” atau berbagai kesejahteraan merupakan alat bantu yang dilampirkan dalam setiap laporan mereka atas setiap negara. Berbagai kesejahteraan adalah strategi utama bagi setiap negara jika ingin mengklaim keberhasilannya mengurus negara.
Gini, atau ketimpangan di Indonesia, yang diukur berdasarkan pengeluaran, sebesar 0,4 diperkotaan dan 0,32 di pedesaan. Ukuran yang tinggi. Secara gabung angka ini di klaim menurun 0,002 dari tahun lalu sebesar 0,391 menjadi 0,389 tahun ini.
Apa yang membuat Gini bisa menurun? Mungkinkah Gini menurun jika pemerintah mengontrol upah buruh pada nilai inflasi? mungkinkah ketimpangan mengecil jika jumlah asset produktif lapisan orang miskin mengecil dan jumlah asset produktif orang kaya membesar?