SERUJI.CO.ID – Lebih dari sepekan setelah aksi boikot Qatar dilancarkan, ketegangan politik tampaknya belum ada tanda-tanda mereda. Negara kecil Qatar bahkan telah mempersiapkan kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan angkatan bersenjatanya pada tingkat kesiapan militer tertinggi, selain tetap mengusahakan jalur diplomasi sebagai penyelesaian.
Qatar dituduh oleh koalisi negara-negara teluk yang dipimpin oleh Saudi mendanai terroris dan sektarian grup yang disupport oleh Iran, termasuk didalamnya Ikhwanul Muslimim, Hamas, ISIS dan Al Qaeda; sehingga dianggap bisa membahayakan stabilitas kawasan.
Pemutusan hubungan diplomatik dan diikuti dengan penutupan wilayah udara, laut dan darat oleh delapan negara, yaitu Saudi, UAE, Bahrain, Mesir, Yemen, Libya sebelah timur, Maldives dan Mauritius. Boikot politik dan ekonomi dianggap sebagai bagian dari hukuman agar Qatar merubah kebijakan negerinya selaras dengan kepentingan dengan negara-negara yang terhimpun dalam GCC countries.
Untuk bisa memahami konstelasi geostrategy dan geopolitik dari krisis Qatar, tulisan ini akan dibagi menjadi 4 bagian, yakni Kronologis blokade Qatar, Natural Gas Qatar. Kebijakan Luar Negeri Qatar, dan Blokade Qatar dan Implikasinya.
1. Kronologis blokade Qatar
Untuk memahami krisis Qatar secara lebih komprehensif, kita mulai dengan mencermati kronologis peristiwanya.
Beberapa minggu sebelum krisis terjadi, Moody’s menurunkan peringkat kredit Qatar satu tingkat ke Aa3 dengan alasan ketidak-pastian akan model pertumbuhan ekonominya. Qatar dianggap rentan akan isu ekonomi dan politiknya, karena ketergantungan yang sangat besar pada pasokan kebutuhan pokok dari luar. Langkah Moody’s tersebut diikuti oleh S&P menurunkan credit risk a one-notch, downgrade dari AA menjadi AA-, dua hari setelah ketegangan meletus.
Selanjutnya, dalam Konferensi Riyadh (20-21 Mei 2017), Presiden Donald Trump dan Raja Salman sepakat menunjuk Iran sebagai sponsor terorisme dunia yang memberikan implikasi bahwa tidak boleh ada negara di kawasan tersebut yang menjalin hubungan dengan Iran.
Tanggal 23 Mei 2017, Kantor Berita Qatar (QNA) diretas dan sebuah pernyataan hoax dikaitkan dengan Emir Qatar – Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani yang menyebutkan bahwa Qatar merekomendasikan persahabatan dengan Iran, memuji Hamas dan menjalin hubugan baik dengan Israel. Walaupun pernyataan tersebut segera dibantah dan dihapus, tapi kerusakan yang ditimbulkannya tidak bisa dielakkan. Dalam waktu 20 menit, kemudian media regional terus mengutip pernyataaan hoax tersebut dan mengaitkannya dengan Emir Qatar. Saluran satelit Saudi berulang kali menayangkan sepanjang hari Rabu, meningkatkan suhu politik di kawasan tersebut. Hacker juga meretas official Twitter QNA, dan mengirimkan serangkaian tweet hoax yang mengatakan seolah-olah Qatar menuduh negara-negara Arab sedang merencanakan penentangan terhadap Qatar dan menginstruksikan duta besarnya di Saudi, UAE, Bahrain, Mesir dan Kuwait menarik diri sebagai protes persengkongkolan jahat tersebut. Tweet itu kemudian dihapus.
Untuk mengatasi issue sensitive ini kemudian pemerintah Qatar segara meembentuk tim investigasi dengan meminta bantuan FBI dan badan keamanan Inggris. Preliminary report yang diumumkan ke publik menemukan bukti operasi peretasan dilakukan dengan menggunakan teknologi tinggi memanfaatkan cyber-bug yang ditanam pada situs QNA sejak bulan April 2017.
Seminggu berselang, tepatnya tanggal 3 Juni 2017, kembali dihebohkan berita tentang bocornya email UAE ambassador untuk PBB- Yousef al-Otaiba. Email yang berhasil diretas oleh grup “GLOBAL LEAKS” dicuri dari inbox Hotmail account ambassador ini terdiri dari 55 halaman, dirilis pertama kali oleh The Intercept, Huffington and The Daily Beast. Terungkap banyak fakta, antara lain adalah tentang keterlibatan UAE dengan think tank pro-Israel yaitu “The Foundation For Defense Democracies dalam rencana untuk mendiskreditkan reputasi Qatar dan Kuwait. Dalam berita yang dilansir oleh New York Times tanggal 8 Juni 2017, disebutkan bahwa Duta besar ini juga terkenal gigih meyakinkan pejabat pemerintah Amerika bahwa Qatar adalah ancaman bagi stabilitas kawasan teluk dengan menunjuk perannya pada Arab Spring 2011 dan keterpihakannya pada gerakan Ikhwanul Muslimin.
Dalam email yang lain, terungkap gagasan untuk memindahkan pangkalan udara utama Amerika di Al Udeid di Qatar ke UAE. Sampai sejauh ini belum ada tanggapan penyanggahan baik dari pejabat Amerika dan UAE atas kebocoran email Yousef al-Otaiba yang dikenal sebagai mentor pribadi penasehat senior politik regional presiden Trump yang sekaligus adalah menantunya, Jared Kushner.
Berselang dua hari, tanggal 5 Juni 2017, secara mendadak diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dan ekonomi terhadap Qatar yang membuat kegemparan geopolitik kawasan teluk.
Menanggapi boikot politik dan ekonomi, pemerintah Qatar sangat menyesalkan keputusan negara-negara teluk serta menolak tuduhan yang dianggap tidak berdasar pada informasi yang akurat. Lebih lanjut Qatar menilai aksi pemboikotan wilayah udara, laut dan udara juga merupakan pelanggaran kedaulatan sebuah negara. Dalam hal tuduhan terhadap Qatar memberikan pendanaan sebesar US$ 1 Billion grup teroris di Iraq; ternyata hasil penyelidikan oleh The Financial Time yang dilansir tanggal 5 Juni menyebutkan bahwa uang tersebut adalah sebagai tebusan atas 26 warga negara Qatar yang ditangkap dan disandera di selatan wilayah Iraq oleh grup Tahrir al-Sham yang berafiliasi dengan Al Qaeda dan Shiah Milisi Iraq yang diback-up oleh Iran. Hal sama yang pernah dilakukan ketika pemerintahan Obama harus membayar tebusan yang lebih mahal sebesar US$ 1.7 billion untuk membebaskan lima warganegaranya yang disandera oleh Iran. Walaupun pembayaran tebusan tidak bisa disamakan dengan mendanai, tapi inilah yang dijadikan alasan bahwa Qatar mendanai gerakan ekstrimisme dan terorisme.
Dengan melihat fakta-fakta yang ada, akhirnya banyak kalangan meragukan bahwa issue terorisme sesungguhnya hanya menjadi cover dari agenda yang disembunyikan dibalik krisis Qatar ini? Lalu apa sesungguhnya alasan sebenarnya dibalik kehebohan politik ini? Apa dosa besar Qatar sehingga dimusuhi tetangganya?
Mari simak halaman analisa selanjutnya.
Lagi-2 USA yg paling diuntungkan dg blokade LNG nya Qatar, politik dagang yg sederhana hanya melibatkan negara.Apalgi USA dpt order pesawat tempur juga.Sekali tepuk 3 keuntungan.
Teori konspirasi jahat musuh musuh Islam…
waspada…
Allahu Akbar
Kondisi makin rumit dengan telah disepakatinya perjanjian jual beli pesawat tempur oleh AS ke Qatar, setelah sebelumnya ada perjanjian senjata bernilai triliunan AS dengan Saudi. Sebenarnya AS di pihak mana? Apakah ada pihak2 yang mencoba mengompori peperangan & kekacauan? Dan kalau perang, siapa yang diuntungkan. Amerika Serikat.
Pada saatnya akan ada buah simalakama bagi barat
Wah, pd berantem kapan Islam dapat bersatu