MENU

Analisis: Memahami Konstelasi Geostrategy dan Geopolitik dari Krisis Qatar

Oleh: Ir. Indria Ernaningsih, MBA, MSc, (PhD student, tinggal di Qatar)

2. Natural Gas Qatar

Justin Dargin, peneliti Middle Easter Gas Issue di Oxford Institue for Energy Studies pada tahun 2008 pernah menulis tentang Qatar’s Natural Gas sebagai driven dari kebijakan luar negerinya. Qatar sangat menyadari posisi negaranya yang tidak menguntungkan, terhimpit dua raksasa Saudi dan Iran serta daerah konflik Iraq yang melintasi teluk Persia/Arab.

Kenyataan bahwa turunnya harga minyak dunia pada tahun 1982-1983 juga menambah kesadaran bahwa “the golden day of Qatari oil production” juga terbatas apalagi terkungkung dalam dominasi Arab Saudi. Karena itulah dengan cadangan gas yang dimilikinya yang diperkirakan ketiga terbesar di dunia setelah Rusia dan Iran, maka penguasa Qatar pada waktu itu, Emir Khalifa bin Hamad al-Thani mulai melakukan “reroute Qatar’s energy production priorities” dari crude oil menjadi gas. Inilah kemudian yang menjadi landasan kebijakan luar negeri Qatar yang ambisius, kebijakan luar negeri yang independent sekaligus menjadikan dominasi Qatar sebagai “the Arab Saudi of Liquefied Natural Gas”.

natural gas

Qatar North Field
Peta Qatar’s North Field. (Sumber: Middle East Policy Council)

Cadangan gas Qatar terbesar terletak di North Field, berbatasan dengan perbatasan maritime Iran. Pada awal ekspolarasi tahun tahun 1990-an, Qatar berusaha melibatkan negara-negara tetangga yang bergabung dalam Dewan Kerjasama Teluk (GCC) khususnya Arab Saudi, Kuwait, Bahrain dan UAE untuk mewujudkan ambisi “the GCC pipeline” dengan pendanaan bersama.

Namun sayang proyek ini berhenti di tengah jalan dengan berbagai alasan. Saudi yang sedang mengembangkan sendiri industri gasnya, menarik hak untuk transit dari pipa Qatar di wilayahnya, karena akan berdampak buruk kepada kepentingan nasional Saudi. Bahrain mundur karena ada masalah sengketa perbatasan dengan Qatar atas kepulauan Hagar. Demikian juga Kuwait yang tidak bisa maju, karena terhalang penolakan hak transit oleh Saudi.

Kegagalan bermitra ini melecut Qatar untuk mengembangkan area khusus untuk memaksimalkan perannya dalam produksi LNG. Qatar mendirikan pusat bisnis hidrokarbon “Energy City” yang mengintegrasikan seluruh pasar energi Timur Tengah dengan memperkenalkan energy trading platform yang dikenal sebagai “International Mercantile Exchange (IMEX)” yang menawarkan pasar spot untuk penjualan LNG. Dalam hal produksinya, Qatar makin meningkatkan kerjasamanya dengan Iran pada platform “sharing field”.

Pada tahun 2001, Qatar kemudian menginisiasi pembentukan grup negara-negara pengekspor gas yang dikenal sebagai “OPEC-Gas”, terdiri dari 11 negara; Qatar, Rusia, Iran, Libya, Algeria, Nigeria, Egypt, Venezuela, Bolivia, Trinidad, Tobago and Equatorial Guinea. Pada tahun 2007 “OPEC-Gas” menghasilkan resolusi akan mengendalikan 73% cadangan gas dunia dan 42% dari produksinya. Langkah-langkah strategis dan sistematis dari Qatar ini berhasil menjadikan Qatar sebagai pengekspor terbesar LNG dunia dalam waktu relative singkat, sekaligus dengan biaya ekstraksi terendah di dunia.

Setelah berhasil sebagai pengekspor terbesar LNG dunia, lantas bagaimana kebijakan luar negeri Qatar?

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

5 KOMENTAR

  1. Lagi-2 USA yg paling diuntungkan dg blokade LNG nya Qatar, politik dagang yg sederhana hanya melibatkan negara.Apalgi USA dpt order pesawat tempur juga.Sekali tepuk 3 keuntungan.

  2. Kondisi makin rumit dengan telah disepakatinya perjanjian jual beli pesawat tempur oleh AS ke Qatar, setelah sebelumnya ada perjanjian senjata bernilai triliunan AS dengan Saudi. Sebenarnya AS di pihak mana? Apakah ada pihak2 yang mencoba mengompori peperangan & kekacauan? Dan kalau perang, siapa yang diuntungkan. Amerika Serikat.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER