Kutukan utang
Utang tentu dibutuhkan untuk pembangunan. Itu hal basic dalam ilmu ekonomi pembangunan. Masalahnya, negara-negara berkembang sering terjebak dalam utang yang menghancurkan.
Pembangunan 32 tahun orde baru hancur seketika manakala utang membengkak mencapai 174 milyar dollar saat itu (pada saat krisis 97/98 hutang tersebut dalam proporsi yang hampir sama jumlah hutang negara dibanding swasta).
Pertumbuhan ekonomi orde baru 8% tahun 1996 terhempas ke minus 13% tahun 1998. Dollar dari Rp2600 per dollar terjun bebas ke Rp16.000.
Inflasi dari 6,5% menjadi 65%. Krisis ekonomi terjadi secara dahsyat dan berkepanjangan. Indonesia harus masuk “rumah sakit” dengan pertolongan IMF berupa “43 milyar bail out” dan program program yang dikendalikan IMF selama bertahun tahun dengan kontrak yang dikenal sebagai “letter of intens”.
Pengutang tentu saja tidak ingin mendapatkan sedikit keuntungan, selain mendikte bunga utang dan pembayaran utang, pengutang seringkali menghina Bangsa Indonesia, seperti memaksa sumberdaya energi, air, hutan dlsb. dalam perjanjian yang merugikan kita.
Selama dalam kendalai IMF di atas, Undang Undang terkait tentang kekayaan negara dan investasi semuanya bersifat memiskinkan kita. Misalnya, UU Migas yang mengatur maksimal penjualan minyak ke dalam negeri hanya boleh 25% saja.
3 Cara Pandang Tentang Utang
Ada 3 cara melihat utang dalam pembangunan. Yakni;
- Seperti pandangan SMI yang hidupnya banyak didekasikan pada IMF dan World Bank, pemberi utang. Pandangan ini melihat bahwa dengan utanglah sebuah negara akan maju. Tiada negara bisa besar tanpa utang. Apalagi negara negara miskin, yang butuh bantuan untuk menghilangkan kemiskinan itu.
- Cara pandang kedua seperti Ruchir Sharma, seorang “investment bankers” Morgan Stanley, yang namanya sangat melambung dengan bukunya “the rise and fall a nation“. Ada 3 hal yang menurutnya penting dilihat soal utang.Pada bukunya itu, bab “The Kiss of Debt“, pertama, dalam utang ada kepentingan pengutang dan peminjam, khususnya swasta, yang saling mendorong membengkaknya hutang terus menerus. Ini yang disebutnya “credit mania”. Mereka lupa diri dan lalai atas manfaat utang tersebut. kedua, pertumbuhan hutang, khususnya swasta, terus jauh di atas pertumbuhan ekonomi (gdp). Khusus hutang swasta ini, sekali lagi, Sharma memberikan bobot yang sangat penting.Menurut penelitiannya, siklus 5 tahun akan terjadi, dimana, situasi utang yang tidak terkendali itu setelah berturut turut 5 tahun, akan mengakibatkan krisis ekonomi. Puncak 5 tahunan ini selalu ditandai dengan pujian-pujian majalah internasional utama, seperti Time kepada Menteri Keuangan atau Presidennya, dan juga pujian-pujian perating internasional. (sebagai catatan: Laura Alfaro (Harvard University) dan beberapa akademisi dari universitas lainnya di USA dalam “Lessons Unlearned? Corporate Debt in Emerging Markets”, 2017, memastikan peranan hutang swasta turut serta memperburuk ekonomi negara, ketika terjadi krisis hutang).Ketiga, menurut Sharma, situasi akan memasuki Debtophobia. Utang pada masa ini sudah tidak terkendali. Kemampuan membayar utang sulit. Investor takut memberi utang baru. Ekonomi mulai terpukul. Pertumbuhan menurun.Dia mengatakan bahwa semua orang, baik pemerintah maupun swasta, ditandai dengan ketakutan membicarakan utang. Ini yang disebutnya Debtophobia. Sebab, utang yang tadinya menunjukkan sisi baik, sekarang menjadi kutukan.
Jika sebuah rezim masih tidak sensitif terhadap situasi ini, ekonomi akan hancur. - Cara pandang ketiga adalah cara pandang konspirasi, seperti yang diuraikan Perkins, dalam bukunya “Confession of the Economic Hit Man”.Cara pandang Perkins, yang bukunya sempat “best sellers”, menguraikan pengalamannya bekerja di berbagai negara, juga Indonesia, untuk menciptakan utang bagi negara-negara berkembang. Dia bekerja mendesain projek-projek infrastruktur, seperti jalan, energi, dlsb, untuk dijalankan pemerintah negara berkembang, sehingga perlahan-lahan negara tersebut ketergantungan dengan utang. Utang yang awalnya berbiaya murah, lama kelamaan menjerat pengutang, dan mulai dikenakan biaya tinggi.Ketika Perkins menulis bukunya, pengutang atau kreditor masih merujuk kepada lembaga multilateral seperti IMF dan World Bank, serta negara-negara barat. Saat ini, dengan hadirnya Cina sebagai kreditor, teori konspirasi kembali menguat dalam tuduhan baru.Rex Tillerson, mantan state of secretary USA era Trump, menuduh Cina menjebak negara negara miskin dunia dengan utang bukan untuk keuntungan bunga, melainkan untuk mengambil alih negara tersebut.