MENU

Undang-undang dan Perda Syariah: Ada atau Tidak Ada?

Oleh: Prof Yusril Ihza Mahendra
Seri tulisan merespon esai Denny JA: NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?

SERUJI.CO.ID – Artikel Denny JA, yang berjudul “NKRI Bersyariah atau Ruang Publik yang Manusiawi?”, telah mendapat banyak tanggapan dari sejumlah pakar dengan beragam perspektif. Melengkapi berbagai tanggapan itu, tulisan ini akan mengangkat aspek hukum. Bukan dari sesuatu yang masih berupa gagasan, seperti wacana NKRI Bersyariah, tetapi dari hal-hal yang secara konkret sudah diterapkan di Indonesia. Yakni, dari apa yang secara populer sering disebut di media sebagai “Perda Syariah.”

Keberadaan “Perda Syariah” kini muncul lagi ke permukaan dan selalu menimbulkan kesalahpahaman. Perda, sejatinya adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang dibuat bersama-sama antara Gubernur dengan DPR Provinsi, atau antara Bupati/Walikota dengan DPR Kabupaten/Kota. Di Aceh, Perda disebut dengan istilah khusus yakni “Qanun.”

Istilah “qanun” merujuk kepada tradisi hukum Islam, yakni peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara atau pemerintah. Sedangkan fiqih adalah hasil ijtihad perorangan dari ahli hukum Islam (fuqaha) yang dituangkan ke dalam kitab-kitab yang membahas berbagai aspek dan bidang dari hukum Islam untuk menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan tuntunan hukum dalam Islam.

Secara formal, di negara kita ini hanya dikenal adanya “Perda” saja, yang dikaitkan dengan daerah di mana Perda itu dibuat dan diberlakukan. Misalnya “Perda DKI Jakarta”, “Perda Kota Bandung” dan “Perda Kabupaten Belitung,” dan seterusnya. Perda itu diberi nomor dan tahun dan diberi judul tentang ruang lingkup pengaturannya. Misalnya, “Perda Kabupaten Belitung Timur Nomor 2 Tahun 2017 tentang Retribusi Pedagang Kaki Lima.”

Apakah ada Perda yang secara khusus disebut “Perda Syariah”, misalnya, Perda Provinsi Banten Nomor 10 Tahun 2018 tentang Syariah? Perda semacam itu tidak ada, dan belum pernah dijumpai di daerah manapun di tanah air kita ini. Demikian pula tentang Undang-Undang Syariah, adakah di negara kita ini? Sepanjang pengetahuan saya, UU seperti itu tidak ada.

Secara akademis dan teoritis, menuangkan syariah (Islam) ke dalam satu peraturan perundang-undangan, baik UU, Perda, dan lainnya, hal itu dapat dikatakan sebagai hal yang tidak mungkin, karena keluasan cakupan pengaturan syariah Islam itu sendiri.

Syariah adalah asas-asas pengaturan hukum yang ditemukan di dalam ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi, yang mencakup hampir keseluruhan bidang hukum, baik di bidang peribadatan maupun di bidang hukum privat (perdata), maupun hukum publik yang sangat luas cakupannya.

Di masa lampau, para ahli hukum Islam mengkompilasi berbagai peraturan ke dalam kitab-kitab hukum, atau melakukan kodifikasi hukum-hukum yang mengatur bidang tertentu, sehingga kaidah-kaidah hukum Islam itu tersusun secara sistematik. Kodifikasi fiqih di negeri kita, misalnya, ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Mufti Kesultanan Banjar abad ke-19, yang diberi judul “Perukunan Melayu” dengan menggunakan Bahasa Melayu.

Bahkan Pemerintah VOC pernah meminta Guru Besar Hukum Universitas Leiden, Prof Dr de Friejer, untuk mengkompilasi hukum Islam yang berlaku di Tanah Jawa. Hasil kompilasinya diterbitkan pada 1664 dengan judul “Compendium Frijer.”

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER