Perang Gerilya
Pada tanggal 10 Mei 1787, pecah Perang Riau II antara koalisi nusantara yang terdiri atas Riau, Lingga, Johor, Pahang, Tempasuk, Kalimantan Barat, Sulu, Batu Bahara, Rembau, dan lain-lain yang dipimpin Sultan Mahmud Riayat Syah melawan pasukan Belanda di Riau.
Dalam perang tersebut, pasukan koalisi nusantara berhasil menghancurkan garnisun Belanda di Tanjungpinang pada tanggal 13 Mei 1787. Pada tanggal 24 Juni pada tahun yang sama, Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat pemerintahan dari Hulu Riau (Tanjungpinang) ke Daek, Lingga.
Saat pemindahan tersebut, dia membawa serta rakyatnya, kecuali buruh kebun, sehingga Pulau Bintan menjadi kosong. Dia mengubah strategi perang melawan Belanda dengan strategi gerilya laut yang dipusatkan di Lingga yang memiliki 604 pulau sebagai benteng alami.
Dari pusat kerajaan yang baru, sejak 1788 s.d. 1793, Sultan Mahmud Riayat Syah memerangi Belanda dengan cara gerilya laut. Pasukannya berhasil mengacaukan perdagangan Belanda di Selat Melaka dan Kepulauan Riau dengan menyerang pasukan Belanda di perairan tersebut.
Berkat kegigihannya dalam melawan Belanda, Gubernur Jenderal VOC-Belanda di Batavia mengakui dan menyetujui kedaulatan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah pada tanggal 29 Mei 1795.
Pengakuan yang sama juga datang dari Gubernur Melaka yang mengirimkan surat pengakuan kedaultan kepada Sultan Mahmud Riayat Syah pada tanggal 23 Agustus 1795.
Inggris pun mengakui kedaulatan kesultanan tersebut melalui Henry Newcome dan A. Brown sebagai perwakilan Kantor Pusat Angkatan Perang Kerajaan Inggris di Melaka.
Bersamaan dengan itu tepatnya 9 September 1995, Residen VOC di Tanjungpinang dan pasukan Belanda ditarik dari Riau serta benteng-benteng Belanda dibongkar.
Pada tanggal 5 Januari 1811, Sultan Mahmud Riayat Syah mengirimkan sebuah kapal perang beserta prajurit dilengkapi persenjataannya untuk melawan ekspansi Belanda ke Sumatera Timur, Sumatera Selatan, dan Bangka Belitung.
Hal itu menunjukkan perjuangan sultan yang mangkat pada tanggal 12 Januari 1812 tersebut memang bertujuan untuk membebaskan nusantara dari penjajahan pihak asing, khususnya Belanda.