Dia menambahkan, seharusnya perusahaan taksi daring menyerahkan model bisnis terlebih dahulu kepada pemerintah agar mengetahui polanya seperti apa.
“Begitu akan memulai, serahkan dulu model bisnisnya ke pemerintah, bagaimana bisa ‘sustain’ (berkelanjutan), struktur bisnisnya itu ketahuan. Di Amerika ‘charge’ itu 37 persen pendapatan masuk ke mereka dipacu dengan pekerjaan ‘full time’, makanya di negaranya sendiri dia ‘suffered’ (mati-matian) karena tidak boleh jadi pendapatan utama,” ujarnya.
Untuk itu, Danang menyarankan agar Kemenhub membuat tim untuk menyusun peraturan terkait taksi daring tersebut.
“Kalau saya dengar Uber sama Grab mau diatur, itu sangat positif,” katanya.
Meski demikian, menurut dia, PM 26/2017 sendiri sudah mengayomi kedua pihak, melindungi masyarakat dan taksi daring itu sendiri.
“Saya melihat kepentingan publik, negara hadir di situ, ini dari awal saya selaku MTI, pemerintah hadis di sisi masyarakat, bukan operator,” imbuhnya.
Dia mencontohkan tidak hanya di Amerika, di Inggris pun bermasalah karena keadilan dalam sisi pentarifan dipertanyakan antara tarif tetap dan argo.