Sudah menjadi kewajiban bersama atau yang biasa disebut sebagai Fardlu Kifayah dalam Kaidah Fiqih, menjaga dan merawat akan kelestraian Alam disekitar kita. Apapun itu, Alam adalah Anugerah Allah SWT. Harta tak ternilai yang dititipkan oleh anak cucu kita, bukan sebaliknya, bukanlah harta yang akan kita wariskan terhadap generasi mendatang.
Salah satu harta yang dititipkan tersebut adalah Goa Wiyu yang berlokasi di Desa Pancuran, Kecamatan Sale, Kabupaten Rembang.
Namun saat ini, sangat miris melihat kondisi Goa Wiyu. Sekeliling Goa yang berada ditengah-tengah area tambang tersebut, terjepit, menempati area yang semakin sempit. Hanya tersisa lahan sekitar 5 hektar disekitar Goa, selebihnya, semua sudah tertambang dan gundul, rata dengan bebatuan kapur yang sudah terkeruk.
Goa Wiyu terasuk dalam kategori CAT (Cekungan Air Tanah) yang dilindungi oleh UU. Keberadaanya sangat penting bagi keseimbangan Alam, karena dalam Goa Wiyu ini mengalir sebuah sungai dalam tanah, dan di dinding-dinding Goa selalu meneteskan air tiada henti.
Goa Wiyu termasuk salah satu Goa dari puluhan Goa Basah yang ada di kawasan Pegunungan Watuputih yang terancam keberadaanya, karena berada dalam Area IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT. Semen Indonesia (PT. SI) di Rembang, yang sedang menjadi pembicaraan hangat dimana-mana.
Secara Fisiografis, Gunung Watuputih dan sekitarnya termasuk dalam tipe bentangan alam Karst, terdapat fenomena alam unik dengan adanya Goa-goa alam dan sungai bawah tanah. Salah satunya ya Goa Wiyu ini.
SERUJI berkesempatan untuk mendatangi dan melihat langsung eksistensi Goa Wiyu ini. Akses masuk kelokasi Goa Wiyu harus melewati beberapa Pos Keamanan pertambangan terlebih dahulu. Kemudian memutari bukit-bukit yang sudah gundul, melewati jalur jalur kendaran berat tambang, yang hanya terbuat dari pecahan-pecahan batu sisa-sisa hasil tambang.
Pintu Masuk Goa Wiyu berukuran kurang lebih dua meteran memanjang, dan harus turun kebawah terlebih dahulu, sesuai tipe Goa yang termasuk Goa Semi Vertikal.
Setelah menuruni bebatuan yang curam yang berbentuk khas Karst, tibalah kami di ‘serambi’ Goa. Jarak antara serambi ini dengan ‘pintu’ atas Goa sekita 10 meter. Air tak henti-hentinya menetes dari dinding-dinding Goa, dan suara gemericik air mengalir seakan menjadi irama tersendiri.
Kami mencoba memasuki lorong-lorong gelap didalam Goa, setelah masuk hampir 10 Meter dengan suasana yang gelap gulita, karena kelengkapan peralatan kurang memadai, terdapat semacam ‘pertigaan” arah kanan, kiri dan lurus. Dititik ini, kami pun keluar karena memang agak berbahaya bagi orang yang belum berpengalaman menyusuri sebuah Goa.
Semoga untuk kedepanya, semua pihak harus saling bahu membahu menjaga kelestarian alam, karena apa yang menimpa Goa Wiyu ini sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi keseimbangan alam dan eco sistem.
EDITOR: Iwan
semoga yang terbaik untuk semua 🙂
Semoga ada solusi yg konstruktif yang memadai
Waduh.. Deket rumahku ini
sayang banget ya ..