Sementara itu, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan merupakan langkah berani yang juga layak ditempuh oleh semua elemen bangsa. Keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.
“Semoga inisiatif yang kami lakukan kemarin di Yogyakarta, sekarang di Jawa Timur, Surabaya, kemudian akan dilakukan di Jawa Barat, membawa prospek masa depan sosial yang baik dalam ‘nation character building’ atau pembangunan jiwa bangsa,” kata Pakde Karwo, sapaan Gubernur Jawa Timur Soekarwno.
Menurut Pakde Karwo, penting bagi pemuda mengetahui peristiwa sejarah Pasunda Bubat sebagai peristiwa budaya. Di samping menjaga keakraban budaya yang berkesinambungan, sebagai inspirasi untuk daerah lain.
“Kami masyarakat Jawa Timur berterima kasih atas kebesaran jiwa Kang Aher, juga Sri Sultan Hamengku Buwono dalam memfasilitasi pertemuan ini. Semoga jadi bagian penting, jadi hadiah penting bagi Kang Aher sebelum masa jabatannya habis,” katanya.
Kang Aher, sebut Pakde Karwo, telah menempuh jalan yang luar biasa setelah 661 tahun sejarah Perang Bubat, kini sejarah tersebut diselesaikan dengan hati yang tulus. Sultan Hamengku Buwono sebagai ‘pengadem’ atau penenteram keadaan adalah sosok pemimpin yang juga pelindung budaya Jawa.
“Semoga semua selesai, dengan menghadirkan jalan, ini bagian simbolik, terpenting hati kita kini bebas menerima, lelaki Jawa cinta perempuan Sunda atau sebaliknya, silakan persunting,” ujarnya.
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X memandang pentingnya mengetahui sejarah sekaligus menghilangkan sekat-sekat kesalahpahaman yang telah terjadi di masa lalu.
“Karena setiap etnis yang ada, menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri,” kata Sultan.
Rekonsiliasi antarbudaya, antaretnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antarmanusia yang sebelumnya mengalami “kecelakaan sejarah”. Maka, harmoni budaya yang dilakukan Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur menjadi wahana solusi jangka panjang untuk manangkis permasalahan tersebut.
Sri Sultan mengimbau bangsa Indonesia supaya menafsir sejarah secara kritis. Kidung Sundayana dibuat pada abad ke-16, sementara perang bubat terjadi pada abad ke-14.
Adapun seorang penulis Belanda pada abad ke-20, C.C. Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 yang mengurai Peristiwa Bubat yang bisa saja hal tersebut memiliki sangkut paut politik di dalamnya.