SERUJI.CO.ID – Pernahkah terbayang adegan ini? Pada suatu malam buta, rumah gubuk yang kita tempati bersama orang tua dan adik-adik kita tiba-tiba digedor dengan keras. Sang ayah, dengan raut wajah yang belum sepenuhnya sadar, membukakan pintu. Ekspresi cemas mulai tergambar di wajah gelapnya.
Dan di luar, kita saksikan beberapa serdadu menghunus senjata. Suara-suara kasar mereka memaksa semua penghuni untuk keluar rumah. Semua gemetar.
Tangan ayah mencoba menepis tangan serdadu yang berusaha menjamah badan Ibu. Pembelaan tanpa daya itu ternyata berakibat fatal. Senjata api di tangan serdadu itu langsung menyalak. Letupan merobek dada ayah yang langsung terkapar.
Tangis pun meledak. Hanya dalam hitungan menit, perintah keluar rumah itu berlanjut dengan pembakaran. Gubug sederhana, satu-satunya tempat kita berlindung, sholat berjamaah diimami ayah, seketika berkobar dimakan api yang dinyalakan sang durjana.
Ini bukan cerita fiksi. Episode di atas benar-benar nyata. Hanya dalam waktu kurang dari lima pekan, sejak konflik meletup lagi pada 25 Agustus 2017, setengah juga pengungsi baru Rohingya dipaksa pergi dari tanah kelahiran mereka di Maungdaw. Juga dari beberapa kampong lain di Rakhine State, Myanmar. Rumah-rumah habis dibakar tak bersisa.
Dalam malam gelap itu, ibu-ibu, anak-anak, dan balita, mungkin jumlahnya lebih dari seribu jiwa, diusir dari kampungnya tanpa alasan yang jelas. Mereka tidak boleh lagi menginjak tanah kelahirannya.
Serdadu-serdau beringas itu tidak peduli meski ada bayi merah yang baru lahir sehari sebelum pembakaran rumah dan kampong. Sang ibu terpaksa membawa pergi bayi yang belum sempat diberi nama oleh almarhum suami yang telah menjadi martirnya. Yang penting segera keluar kampong, menyelamatkan jiwa.
Di mana tempat yang aman? Tak ada jalan lain kecuali menyeberangi perbatasan Bangladesh. Antara Maungdaw dan negeri Bangladesh hanya dibatasi aliran sungai Naf yang lebar dengan arus yang cukup deras. Pilihannya hanya tenggelam menyeberangi sungai atau menggunakan perahu kayu yang rapuh untuk melintasi batas nan lebar, sungai yang dikenal dengan sebutan sungai Naf.
Sampai di seberang, di Shah Porir Dwip, mereka ditunggu sebuah status baru yang sungguh tidak enak didengar: pengungsi peperangan.
Di mana arti kemanusiaan? Tim ACT menemukan seorang ibu menggendong bayinya yang belum lagi berumur 3 pekan. Bayi itu masih merah, bahkan belum diberi nama. Suaminya tidak diketahui nasibnya. Kemungkinan sudah diberondong peluru oleh serdadu Myanmar.
Ibu dan bayi merah ini telah menempuh perjalanan selama 7 hari. Tertatih dengan kakinya yang kotor, dilanjutkan menumpang sebuah perahu rapuh.
Shah Porir Dwip adalah titik perbatasan antara Bangladesh dengan Myanmar. Dari sisi geografis, wilayah ini berada di ujung selatan Bangladesh. Gerbang perbatasan ini pula yang menjadi area paling dekat dengan Maungdaw, kampong dari setengah juta lebih muslim Rohingya. (Nurur/SU02)