MENU

Sejarah Kasus Penistaan Agama di Masa Pemerintahan Kolonial Belanda

Umat Islam merupakan umat yang sangat cinta terhadap Nabi dan kitab sucinya, siapapun yang mencoba melecehkan Nabi dan Al-Qur’an maka dipastikan akan mendapat perlawanan keras, tak peduli penistanya dari suku mana dan pemeluk agama apa. Demikian pula dengan umat Islam di Indonesia dari jaman dulu sampai sekarang.

Pada masa lalu, sikap tegas dan pembelaan umat Islam dalam memprotes segala bentuk penghinaan terhadap Rasulullah SAW juga pernah dilakukan secara massif dan besar-besaran.

Pada 9 dan 11 Januari 1918, media cetak berbahasa Jawa “Djawi Hisworo” yang terbit di Surakarta meloloskan artikel karya Martodharsono dan Djokodikoro berjudul “Pertjakapan Antara Martho dan Djojo”, yang isinya menghina Nabi Muhammad SAW sebagai pemabuk dan pemadat.

Artikel itu memuat kalimat bertuliskan, “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem AVH, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”

Gelombang kemarahan publik pun dengan cepat menjalar karena kalimat tersebut. Kalimat itu dianggap sebagai tindakan penistaan agama.

Salah satu tokoh Islam, Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto selaku pimpinan Centraal Sjarikat Islam bereaksi keras dan segera mengadakan rapat umum di Surabaya pada Februari 1918, yang isinya menuntut pemerintah kolonial Belanda agar menindak kedua penulis dan pemimpin redaksi Djawi Hisworo. Bahkan mereka membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) atau Tentara Kandjeng Rasoel.

Ada dua tujuan mulia dari dibentuknya TKNM tersebut, pertama untuk membangun kesatuan dan persatuan lahir batin antar muslimin, kedua menjaga dan melindungi kehormatan agama Islam, kehormatan Rasulullah Muhammad SAW, dan kehormatan kaum muslimin.

Setelah dibentuk, TKNM menyeru kepada masyarakat Indonesia untuk menghadiri perkumpulan besar yang berlokasi di Kebun Raya Surabaya pada 6 Februari 1918. Perkumpulan ini diadakan sebagai sikap kaum muslim terhadap penghinaan Nabi Muhammad SAW.

Tidak kurang dari 35.000 orang yang ikut dalam aksi tersebut. Tuntutannya hanya satu, yaitu mendesak pemerintah Hindia Belanda dan Sunan Surakarta untuk segera mengadili Djojodikoro dan Martodarsono.

Di waktu itu, media tidak seperti sekarang. Belum ada media sosial seperti facebook, twitter, dan belum ada stasiun televisi. Radio pun hanya segelintir orang yang punya. TKNM hanya bermodalkan pesan lisan dan media selebaran kertas untuk mengumpulkan massa sebesar itu. Kita bisa membayangkan betapa besarnya kemarahan masyarakat Muslim Indonesia saat itu.

Perlu diketahui, HOS Tjokroaminoto yang juga merupakan mertua presiden pertama RI Sukarno adalah pelanjut kepemimpinan Sjarikat Islam yang didirikan oleh KH Samanhoedi pada tahun 1906. Ia mendapat mandat melanjutkan kepemimpinan KH Samanhoedi pada tahun 1912, ditindak-lanjuti dengan rapat akbar Syarikat Islam di Surabaya pada tahun 1913.

Rapat akbar ini melahirkan keputusan didirikannya Central Syarikat Islam (CSI) di Surabaya, Yogyakarta dan Bandung. Rapat akbar ini juga sebagai protes terhadap penarikan dana oleh pemerintah kolonial Belanda dari rakyat Indonesia yang masih dijajah, dalam rangka acara peringatan seratus tahun Kerajaan Protestan Belanda (1813-1913).

*Disarikan dari buku Api Sejarah (Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan NKRI) karya Ahmad Mansur Suryanegara, jilid kesatu, cetakan III, edisi revisi, 2016, terbitan Surya Dinasti.

 

EDITOR: Iwan Y

Ingin mengabarkan peristiwa atau menulis opini? Silahkan tulis di kanal WARGA SERUJI dengan klik link ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silahkan isi komentar anda
Silahkan masukan nama

ARTIKEL TERBARU

BERITA TERBARU

TERPOPULER