SURABAYA – Benarkah Pemerintah Arab Saudi akan benar-benar melepas sebagian sahamnya di Saudi Arabian Oil Co. atau Saudi Aramco? Ataukah, Pemerintah Arab Saudi masih setengah hati untuk melepaskan 5 persen saham yang dimiliki kepada publik?
Kedatangan Raja Salman dari Arab Saudi digadang-gadang juga membawa misi ‘jualan’. Dia berencana untuk menawarkan saham Aramco kepada Indonesia. Apalagi, Arab Saudi juga akan berinvestasi ratusan triliun rupiah di sini. Tentu, ini bukanlah investasi sepihak saja. Arab Saudi tentu ingin Indonesia juga ikut berinvestasi di negara Jazirah Arab tersebut. Dan IPO Aramco pun akan ditawarkan kepada Indonesia sebagai imbal balik investasi Arab Saudi di Indonesia.
Namun ada analisa menarik dari Robert Boslego, pengamat perminyakan dan pendiri Boslego Risk Services, sebuah perusahaan manajemen risiko dalam bidang gas dan perminyakan Amerika Serikat. Pria lulusan Harvard College ini mengatakan, bisa saja initial public offering (IPO) alias penawaran saham perdana kepada publik tak akan terjadi. Salah satunya karena Pemerintah Arab Saudi sendiri masih galau.
“Semula, direncanakan IPO tahun 2017. Kemudian mundur lagi tahun 2018 Atau mungkin bisa jadi tahun 2019 atau beberapa tahun lagi. Saya malah melihatnya bisa jadi IPO Aramco tak akan terjadi,” ujar ahli manajemen risiko yang telah menangani puluhan perusahaan energi ini.
Sebelumnya, Wakil Putra Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohammed bin Salman pada bulan April 2016 lalu memang mengumumkan akan melepas sekurangnya 5 persen saham Aramco lewat IPO. Bahkan dia mengklaim aksi korporasi perusahaan minyak milik kerajaan itu akan menjadi IPO terbesar di dunia. Hanya saja, sang pangeran ini tak menyebutkan kapan pelaksanaannya.
Mohammed bin Salman menyebut, nilai saham Saudi Aramco sebesar USD 2 triliun. Bila mengacu kepada 5 persen saham yang akan dilepas maka Saudi Aramco akan meraup dana IPO sebesar USD 100 miliar atau setara dengan Rp 1.320 triliun. Fantastis memang.
Pandangan lain justru dilihat Robert Boslego. Selama ini Aramco adalah penyumbang besar APBN Arab Saudi. 20 persen royaltinya masuk kas negara. Demikian pula 85 persen dari pajaknya. Artinya, Aramco masih sangat dibutuhkan oleh Pemerintah Arab Saudi.
“Anggaran pemerintah (APBN) Arab Saudi sangat tergantung pada Aramco. Tentu ada solusi berbeda jika Aramco jadi IPO,” tegasnya. Memang, jika IPO Aramco terjadi maka akan menjadi IPO terbesar di dunia.
Jumlah tersebut mematahkan rekor IPO terbesar sebelumnya yang dicetak oleh Alibaba Group Holding Ltd. Perusahaan e-commerce asal China ini melangsungkan IPO pada September 2014. Dana yang diperoleh USD 25 miliar. Nilai ini melampaui nilai IPO terbesar pendahulunya, yaitu Agricultural Bank of China Ltd. senilai USD 21,8 miliar pada 2010 silam.
Selain itu, soal rencana pencatatan saham pun masih belum jelas. Sebelumnya pencatatan saham akan dilakukan di Amerika Serikat. Namun, akhirnya berubah di Arab Saudi. Dan yang perlu dipahami, peran pemerintah sendiri sangat besar. Perlu diingat, Aramco tidak punya sumber-sumber minyak. Yang memiliki adalah Pemerintah Arab Saudi. Aramco hanyalah memonopoli produksi dari sumber-sumber minyak tersebut.
Dengan demikian, proses untuk IPO Aramco sendiri masih berlarut-larut. Perlu kejelasan dari pihak Pemerintah Arab Saudi kepada investor, termasuk Indonesia, kapan akan memulai IPO. Bila tidak, penantian investor pun akan berkurang dan harga saham di penawaran perdana akan jatuh karena ketidakpastian rencana IPO tersebut.
EDITOR: Rizky
@Serujidotcom Aramco itu Arab American Corporation….