SERUJI.CO.ID – Perusahaan-perusahaan adalah ujung tombak daya saing sebuah bangsa. Karya-karya peradaban kini dihasilkan oleh perusahaan. Bukan lagi oleh negara seperti jaman dahulu. Bangsa yang unggul berisi perusahaan-perusahaan unggul. Perusahaan prinsipal yang produknya dipakai berbagai bangsa. Sebaliknya, bangsa yang lemah juga berisi perusahaan-perusahaan lemah.
Kemandirian Mulai dari urusan remeh temeh seperti semir sepatu dan jarum jahit sampai urusan canggih-canggih seperti pesawat terbang dan gadged.
Memang pada era korporatisasi dan monopolistik seperti sekarang ini, bangsa unggul bukanlah bangsa yang sama sekali tidak mengkonsumsi produk perusahaan asing. Bangsa unggul adalah bangsa yang mengkonsumsi produk perusahaan-perusahaan asing jauh lebih sedikit dari pada bangsa asing mengkonsumsi produk perusahaan-perusahaan bangsa itu. Bangsa produsen. Bukan bangsa konsumen. Persis seperti logika dalam sepak bola. Pemenang bukan kesebelasan yang gawangnya tidak dibobol lawan. pemenang adalah kesebelasan yang membobol gawang lawan lebih banyak dari pada dibobol lawan.
Bagaimana menjadi bangsa produsen? Bagaimana menjadi bangsa yang unggul? Bagaimana menjadi bangsa dengan perusahaan-perusahaan unggul? Dibutuhkan sebuah ekosistem. Ekosistem yang dibangun dari enam pilar berikut ini.
Pilar pertama adalah korporatisasi perusahaan yang telah eksis di pasar. Ciri utama perusahaan eksis di pasar adalah telah menemukan revenue and profit driver (RPD). RPD adalah aset yang begitu dimiliki akan langsung menghasilkan tambahan omzet dan laba.
Bagi perusahaan mini market misalnya, RPD-nya adalah penambahan jumlah gerai. Perusahaan eksis di pasar akan mampu terus-menerus membuka gerai dan menghasilkan omzet sekaligus laba dari gerai yang dibukanya. Alfamart misalnya tiap hari rata-rata membuka 3 gerai baru.
Kendala kita selama ini adalah ketidakfahaman para pendiri perusahaan ber-RPD. Mereka tidak mau terus-menerus menerbitkan saham baru sebagai modal ekspansi. Terpaku pada utang dan takut dengan dilusi. Baca tulisa saya “Raja Utang” untuk pembahasan lebih detail tentang hal ini. Padahal, dilusi justru adalah sarana meningkatkan nilai buku maupun nilai pasar saham, termasuk saham milik pendiri, puluhan bahkan ratusan kali lipat. Dilusi menghasilkan agio saham alias “upeti” dari pada pemegang saham baru. Modal untuk ekspansi dengan cost of capital yang rendah.
Ketidakpahaman ini juga terjadi pada pemegang saham perusahaan BUMN dalam hal ini adalah pemerintah. Perusahaan-perusahaan BUMN semestinya banyak yang sudah menemukan RPD nya. Tetapi selama ini BUMN pertumbuhannya tercekik karena hanya berbasis utang yang cost of capitalnya tinggi.