Sebagai direktur, Karen juga memiliki otoritas penuh untuk membuat prosedur operasional apapun yang biasanya dituangkan dalam bentuk SOP. SOP ditandatangani direktur. Dengan demikian SOP adalah bentuk delegasi wewenang direktur kepada anak buahnya. Artinya kesalahan melanggar SOP hanya berlaku untuk anak buah direktur. Sedangkan direktur sendiri memiliki wewenang yang cukup untuk bertindak diluar SOP bahkan mengubah SOP.
Secara tata kelola, direktur juga berwewenang membuat keputusan apapun menyangkut aset perusahaan tanpa persetujuan komisaris. Jika komisaris harus menyetujui keputusan direktur justru sejatinya wewenang eksekusi telah berpindah ke komisaris. Dan jika wewenang eksekusi berpindah kepada komisaris, lalu siapa yang melakukan pengawasan? Menyaratkan persetujuan komisaris pada prosedur investasi justru mengacaukan tata kelola perusahaan.
Karen Agustiawan Divonis Bersalah, Karena Hanyalah Pseudo Director?
Nah, vonis berat bagi Karen baru bisa dipahami jika memandang bahwa Karen adalah pseudo director. Pseudo CEO.
Keharusan adanya persetujuan bagian legal dan komisaris yang menjadi dasar vonis hakim menunjukkan bahwa sejatinya Karen bukan direktur sesungguhnya. Bukan direktur utama yang sesungguhnya. Bukan CEO. Karen hanyalah seorang direktur semu. Seorang direktur-direkturan. Bukan direktur betulan. Bukan direktur sesungguhnya.
Pseudo CEO Terjadi di Berbagai BUMN dan Perusahaan Keluarga di Indonesia
Fenomena pseudo director atau pseudo CEO tidak hanya terjadi pada Pertamina. Tetapi juga terjadi pada berbagai BUMN lain. Juga bukan hanya terjadi pada BUMN, tetapi juga terjadi pada berbagai perusahaan swasta khususnya pada perusahaan keluarga. Ini yang harus diwaspadai oleh banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia mengingat masih dominannya peran perusahaan keluarga di dunia bisnis negeri tercinta ini.
Dengan alasan menyerahkan kepada profesional, direktur pada perusahaan keluarga bukan dijabat oleh si pendiri. Bisa anak, cucu, sanak saudara atau orang lain. Bukan si pemegang saham pengendali. Pendiri perusahaan memposisikan hanya sebagai pemegang saham. Atau kadang sekaligus sebagai komisaris.
Karena posisi pendiri masih memegang hampir 100% saham, apapun yang menjadi kemauannya akan menjadi keputusan RUPS. Pemegang saham bisa mendiktekan apapun kemauannya kepada direksi maupun komisaris. Apalagi jika komisarisnya adalah si pemegang saham pengendali itu sendiri.
Pada banyak perusahaan keluarga, komisaris diposisikan sebagai atasan direktur. Keputusan direksi harus disetujui dan ditandatangani oleh komisaris. Posisi direktur pun tidak benar-benar menjadi direktur. Direktur hanya bisa membuat usulan keputusan. Bukan mengambil keputusan. Posisinya hanyalah pseudo director.
Efek Negatif Pseudo CEO Bagi Perusahaan
Paling tidak ada enam efek negatif fenomena pseudo director. Pertama adalah kerancuan otoritas. Efek ini terjelaskan dengan ungkapan “yang perang tidak pegang senjata, yang pegang senjata tidak perang”.
Jika persaingan di pasar diibaratkan pertempuran, direktur adalah pemimpin pasukan di medan perang. Sebagai pimpinan pasukan tentu direksi seharusnya membawa “senjata” berupa wewenang pengambilan keputusan. Tetapi ini tidak terjadi karena posisinya hanyalah sebagai pseudo director. Keputusan harus disetujui oleh komisaris atau pemegang saham. Padahal komisaris atau pemegang saham tidak berada di medan perang. Fenomena ini hanya akan menghasilkan pasukan yang lemah dalam pertempuran.