SERUJI.CO.ID – Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lahir, bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang majemuk. Di dalam kemajemukan itulah, segenap komponen bangsa memiliki cita-cita dan mimpi yang sama untuk membangun NKRI demi mewujudkan kesejahteraan yang sama dan berkeadilan.
Sila ke-5 Pancasila penting untuk digarisbawahi dan diingat oleh semua anak bangsa karena tanpa “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” nasib NKRI bukan tak mungkin akan mengikuti jejak negara Uni Soviet atau Yugoslavia yang kini telah menjadi kenangan sejarah dunia. Oleh karena itu, pidato Sukarno yang disampaikan di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, patut untuk terus dicamkan dalam kesadaran berbangsa semua anak bangsa.
“Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!”
Belakangan ini, tanda-tanda adanya kekurangmesraan hubungan sosial antaranak bangsa semakin terasakan. Meskipun intensitasnya masih rendah. Tak dapat dinafikan bahwa di beberapa daerah isu SARA menyeruak dalam pilkada serentak dan pemilu. Fenomena ini, terutama, tampak dari banyaknya ungkapan ujaran kebencian dan berita-berita hoaks di media sosial.
Fenomena tersebut jelas tak bisa dibiarkan secara hukum negara, maupun agama karena dampak sosial dan politiknya yang tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup bangsa dan NKRI. Apalagi di tahun-tahun politik sekarang ini.
Penegakan hukum yang dilakukan pihak berwenang terhadap sejumlah pelaku ujaran kebencian dan penyebar berita hoaks patut diapresiasi. Tetapi, hal tersebut tidak cukup karena sifatnya yang seperti pemadam kebakaran yang memadamkan api di semak-semak belukar yang luas dan tebal di musim panas yang kering.
Tindakan tersebut seyogyanya diikuti dengan mengatasi pokok persoalan utamanya secara terprogram dan sistematis, yakni tingginya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi yang dirasakan rakyat. Masih segar dalam ingatan kita peristiwa tragedi kemanusiaan dan SARA 1998 yang, antara lain, juga dipicu oleh adanya kesenjangan ekonomi yang tinggi.