Pintu kecil dan tangga curam tak masalah jika orang tidak berebut keluar stadion. Dan orang berebut keluar karena tak tahan paparan gas air mata.
Berdesakan di ruang sempit, kurang oksigen, saling sikut atau injak, itulah yang mematikan. Orang Inggris mengatakan stampede.
Dalam kondisi normal, di ruang terbuka, gas air mata tidak mematikan. Gas ini cuma bikin mata pedih dan sesak nafas.
Polisi yang sering menghadapi demonstran tahu, gas air mata paling efektif membubarkan kerumunan massa atau memaksa orang keluar dari persembunyian.
Menyemprot gas air mata itu ibarat menyemprot asap ke lubang tikus, agar tikus keluar untuk bisa digebah, ditangkap atau dibunuh.
Hal pertama yang harus dipertanyakan Presiden Jokowi adalah apakah polisi paham kondisi pintu dan tangga sebelum menembakkan gas air mata ke kerumunan?
Jika polisi tahu kondisi pintu dan tangga tapi tetap menembakkan gas air mata, jelas itu keteledoran yang mematikan.
Dan itu perkara sangat serius ketika menewaskan 130 lebih orang, menjadikannya salah satu tragedi sepakbola paling buruk di dunia.
Tragedi Kanjuruhan bukan tentang infrastruktur fisik pintu dan tangga, tapi tentang watak dan kapasitas manusia orang-orang yang memegang senjata, bahkan jika itu cuma pelontar gas air mata.
Jika polisi lapangan tak tahu dampak gas air mata terhadap kerumunan di ruang tertutup, kita sedang menghadapi problem serius sistem kepolisian. Apalagi jika tahu tapi tak peduli nyawa orang.
